09 December 2007

Renungan Natal 2007 (1) : INKARNASI DAN KEDAULATAN ALLAH (Denny Teguh Sutandio)

Renungan Natal 2007 (1)



INKARNASI DAN KEDAULATAN ALLAH

oleh : Denny Teguh Sutandio



Nats : Yohanes 1:1-5, 9-14

“Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya…. Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia. Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya. Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya; orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah. Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.”



Pada renungan menjelang Natal kali ini, kita akan membahas tema serial tentang Inkarnasi sebanyak tiga kali. Pada bagian pertama ini, kita akan merenungkan pendahuluan tentang keharusan mutlak Inkarnasi. Pada bagian kedua, kita akan membahas kaitan Inkarnasi dengan datangnya Sumber Terang. Pada bagian terakhir, kita akan membahas mengenai Semangat Inkarnasi Vs Semangat Zaman.

Pendahuluan Injil Yohanes
Injil Yohanes adalah Injil terakhir yang ditulis kira-kira pada tahun 90 Masehi. Handbook to the Bible (2002) menafsirkan bahwa Injil ini ditulis di kemudian hari mengingat para pembaca pada waktu itu dianggap telah mengetahui fakta-fakta mengenai kehidupan Tuhan Yesus. Injil ini ditulis oleh Yohanes, mungkin Yohanes putra Zebedeus, saudara Yakobus, dan rekan kerja Petrus dan Andreas. Yohanes menuliskan suratnya dengan gaya tafsiran terhadap banyak pengajaran dan mukjizat Tuhan Yesus. Fokus Injil Yohanes berbicara tentang Yesus sebagai Mesias dan Anak Allah. Dan di dalam Injil ini juga terkandung banyak pengajaran Tuhan Yesus dengan metode pengajaran yang berbeda di Yerusalem. Tujuan pokok dari penulisan Injil ini adalah memimpin pembaca kepada iman (Yoh. 20:30-31). (hlm 600)


Yesus Adalah (Firman) Allah
Mengutip perkataan Pdt. Sutjipto Subeno, Yohanes memulai Injilnya bukan dengan memaparkan fakta historis tentang kelahiran Tuhan Yesus seperti ketiga Injil lainnya (Matius, Markus dan Lukas), tetapi ia memulai Injilnya dari kacamata kekekalan Allah. Di pasal 1 ayat 1, dikatakan, “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.” Di dalam bahasa Yunani, pernyataan “Pada mulanya” di dalam Yohanes 1:1 adalah archē berarti the first/beginning (pertama kalinya/permulaan). Dengan demikian, sebelum dunia dijadikan, sudah (dan terus berlangsung ; menggunakan bentuk kata kerja imperfect/progressive) ada Firman. Kata Firman dalam bahasa Yunaninya logos dan memakai bentuk kata benda (noun), maskulin, singular/tunggal, dan nominative (nominatif/pokok kalimat bagi suatu kata ganti, misalnya I, he, she, who). Berarti, Firman ini bukanlah Firman yang tak berpribadi seperti konsep Yunani kuno tentang logos, tetapi Firman ini adalah Firman yang berpribadi. Firman itu dikatakan bersama-sama (American Standard Version, English Standard Version, Geneva Bible, International Standard Version, King James Version dan New International Version sama-sama menerjemahkannya with/dengan) Allah. Kata “bersama” dalam bahasa Yunani pros bisa berarti toward, near to, etc (dekat dengan). Berarti, Firman Allah itu berada dekat/bersama dengan Allah itu sendiri. Tetapi Firman ini tidak hanya bersama dengan Allah, tetapi Firman itu sendiri adalah Allah. Dalam struktur kata Yunani, kata Firman dan Allah sama-sama menggunakan struktur kata : noun, masculine, singular, nominative. Di sini, berarti Firman itu tidak lain adalah Allah sendiri. Siapakah Firman itu ? Firman itu adalah Yesus yang tentu adalah Allah Pribadi Kedua itu sendiri.

Dilanjutkan dengan ayat 2, “Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah.” Kembali, kata “bersama-sama” dipakai untuk menunjukkan adanya kedekatan/kebersamaan sang Firman/Yesus/Anak Allah dengan Allah Bapa. Karena kebersamaan-Nya dengan Bapa, Kristus juga berperan di dalam Penciptaan. Hal ini ditunjukkan oleh Yohanes di ayat 3, “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.” Pdt. Sutjipto Subeno membagi dua macam penciptaan yang dilakukan oleh/melalui Kristus di dalam ayat ini. Beliau mengatakan bahwa penciptaan pertama adalah penciptaan alam semesta beserta isinya. Dengan kata lain, Kristus itu Pencipta dari segala yang ada dan semua ciptaan (manusia) harus menyerupai gambar Allah yang tidak kelihatan di dalam Pribadi Kristus. Rasul Paulus di dalam Kolose 1:15-16 mengungkapkan hal ini lebih jelas, “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.” Penciptaan model kedua yang dipaparkan oleh Pdt. Sutjipto Subeno adalah penciptaan tahap kedua. Artinya Kristus juga mencipta sesuatu dari sesuatu yang telah diciptakan. Dengan kata lain, Kristus menciptakan turunan dari ciptaan-ciptaan-Nya. Ini membuktikan adanya pemeliharaan Allah atas dunia ciptaan, sekaligus mengajar orang Kristen untuk tidak mempercayai filsafat deisme (baik secara langsung maupun tidak langsung) yang mengajarkan bahwa setelah menciptakan, Allah membiarkan ciptaan-Nya berjalan menurut hukum alam sendiri.

Bukan hanya sebagai Pencipta, Yohanes 1:4 mengatakan bahwa di dalam Firman Allah itu (Kristus) ada Hidup. Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) mengartikan “hidup” di sini dengan “hidup (kekal)”. (hlm. 475) Di sini sangat jelas terlihat bahwa Kristus bukan hanya menciptakan segala sesuatu dan turunannya, tetapi di dalam-Nya ada hidup (kekal). Sekali lagi, ini menunjukkan bahwa Firman/Kristus ini adalah Pribadi. Jika Firman ini bukan Pribadi, masa mungkin di dalam-Nya ada hidup ? Kembali, hidup yang berada di dalam Firman itu menjadi terang bagi manusia-manusia. Artinya, hidup itu bukan hanya milik Sang Firman saja, tetapi Firman itu memberikan hidup itu kepada manusia, sehingga manusia memiliki kehidupan. Oleh karena itu, manusia sejati adalah manusia yang memiliki hidup yang dikaitkan dengan Terang Firman itu sendiri. Itulah sukacitanya seorang anak Tuhan di dalam Kristus, di mana hidup mereka yang fana ini dikaitkan dengan Sumber Kehidupan di dalam Kristus yang kekal, sehingga hidup mereka adalah hidup yang berharga dan bermakna.

Sang Firman yang adalah Pencipta dan Hidup itu sendiri bukan hanya berada di dalam Kekekalan, tetapi juga mengunjungi dunia kesementaraan ini. Hal ini dinyatakan oleh Yohanes 1 ayat 14, “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.” Ayat ini merupakan kunci kita mengerti konsep tentang Inkarnasi. Inkarnasi berarti Allah menjadi manusia tanpa meninggalkan natur keIlahiannya. Ketika Allah menjadi manusia, di saat yang sama Sang Kekal mengunjungi dunia kesementaraan untuk menebus manusia pilihan-Nya yang sementara ini agar mereka yang sementara dapat disempurnakan dan masuk ke dalam kekekalan Allah di Surga. Tetapi banyak orang dunia sulit mengerti konsep tentang Inkarnasi. Apa saja yang mereka pikirkan dan bagaimana solusinya ?


Problematika Inkarnasi dan Solusinya
Bagi orang dunia, konsep Inkarnasi adalah konsep yang ‘tidak masuk akal’, karena beberapa alasan :
Pertama, Allah yang menjadi manusia. Bagi orang dunia, Allah itu Kekal, nun jauh di sana, tak terjangkau oleh ciptaan, Mahakudus, Mahaadil, dll, sedangkan manusia itu sementara, najis, berdosa, terbatas, dll. Bagaimana mungkin Allah yang kekal mampu menjadi manusia ? Itulah yang menjadi problematika filsafat Yunani yang mengajarkan being dan becoming. Filsuf Plato mengajarkan being, artinya segala sesuatu itu berada di dunia ide yang tidak berubah, sehingga tidak heran dia membedakan antara hal-hal ideal dengan hal-hal nyata, di mana hal-hal yang nyata adalah bayang-bayang dari dunia ide. Lalu, konsep ini mempengaruhi Parmenides dan akhirnya dikembangkan oleh filsuf Immanuel Kant dengan pembedaan tajam antara dunia fenomena (nyata) dan dunia nomena (ide). Sedangkan filsuf Aristoteles mengajarkan becoming, segala sesuatu berubah, sehingga ajaran ini menyatukan antara form (ide) dan matter (benda). Ajaran ini nantinya mempengaruhi Heraclitus dan akhirnya dikembangkan di dalam filsafat Abad Pertengahan (Skolastisisme), khususnya juga Gereja Katolik Roma di dalam Sakramen Perjamuan Kudusnya. (Stephen Tong, Reformasi dan Teologi Reformed, 1991, p. 65) Dari kedua arus filsafat Yunani, kita mendapatkan gambaran bahwa masing-masing filsafat Yunani menekankan hal yang tidak seimbang : Plato terlalu menekankan being, sedangkan Aristoteles terlalu menekankan becoming. Bagaimana dengan agama ? Agama-agama dunia juga tidak mengerti hal ini. Ada agama yang mengajarkan bahwa “Allah” itu nun jauh di sana (transenden), sehingga kalau beribadah, semua pengikutnya harus membunyikan pengeras suara supaya “Allah”nya mendengar. Agama lain terlalu menekankan imanensi “Allah”, sehingga semua manusia adalah “allah” (ide Panteisme). Semua filsafat Yunani dan agama tidak mampu menjawab problematika being dan becoming ini. Lalu, bagaimana solusinya ? TIDAK ada jalan lain, problematika being dan becoming hanya bisa dipecahkan dan ditemukan solusinya di dalam keKristenan di dalam wahyu khusus Allah.
Theologia Reformed memiliki inti doktrin yaitu kedaulatan Allah. Saya pernah membagi tujuh pengertian kedaulatan Allah, di mana salah satunya Inkarnasi adalah bentuk kedaulatan Allah. Artinya, Allah yang Berdaulat adalah Allah yang Berdaulat membatasi diri-Nya yang kekal untuk menjadi manusia yang terbatas. Jika Allah tidak bisa menjadi manusia, masih layakkah Allah disebut Allah ? Di sini, kegagalan konsep sebuah agama (antroposentris) yang mati-matian mengatakan Yesus itu hanya manusia/nabi saja dan bukan Allah. Di dalam Inkarnasi Kristus, problematika being (tidak berubah) dan becoming (berubah) dapat dipecahkan. Di dalam Inkarnasi Kristus, Kekekalan bertemu dengan kesementaraan, sehingga kesementaraan memiliki makna hidup di dalam perspektif Kekekalan. Sehingga kalau Kristus tidak pernah menjadi manusia di dalam Inkarnasi, bagaimana jadinya hidup manusia yang sementara ini ? Hidup yang tidak berada di dalam perspektif kekekalan Kristus adalah hidup yang sia-sia dan tanpa pengharapan.

Kedua, mengapa Allah harus menjadi manusia ? Seorang rekan yang beragama lain di sebuah milis Yahoo bertanya mengapa Allah harus menjadi manusia, bukankah Allah cukup mengajar manusia untuk tidak berdosa lagi ? Pertanyaan ini bukanlah pertanyaan mudah, karena esensi pertanyaan ini sedang menekankan superioritas manusia yang tanpa dosa. Dengan mengatakan bahwa Allah cukup mengajar manusia untuk tidak berdosa lagi, orang ini hendak mengajarkan bahwa manusia itu cukup “baik”, sehingga manusia cukup hanya diajar Allah tentang kebenaran. Konsep ini mirip dengan konsep seorang filsuf yang mengajarkan teori tabula rasa : manusia lahir seperti kertas putih (tanpa dosa), sehingga kalau dia berdosa, itu karena pengaruh lingkungan sekitar. Benarkah konsep ini ? Jika konsep ini benar, pertanyaannya adalah mengapa dari kecil tanpa diajar oleh orangtua, seorang anak kecil bisa berdusta ? Apakah karena pengaruh lingkungan ? Dari mana seorang anak kecil bisa dipengaruhi lingkungan, kalau dia masih kecil dan tidak mengerti apa-apa ? Inilah kegagalan teori tabula rasa. Manusia lahir TIDAK seperti kertas putih (tanpa dosa), tetapi manusia lahir dengan dosa asal (original sin). Dosa asal mengakibatkan manusia menjadi hamba dosa. Bapa Gereja Augustinus mengatakan bahwa pada saat manusia berdosa, ia dalam kondisi : tidak bisa tidak berdosa (non-posse non-peccare). Artinya, dosa menimbulkan manusia terikat olehnya dan diperbudak olehnya, sehingga tidak bisa tidak, manusia hanya mengabdi kepada dosa, iblis dan maut sebagai “tuan”nya. Lalu, bagaimana melepaskan dosa manusia ini ? Dengan menumpuk amal baik ? Sekali lagi, mengutip perkataan Pdt. Sutjipto Subeno, orang yang berpikir bahwa dengan berbuat baik, manusia bisa dibenarkan/diselamatkan, orang itu di titik pertama sudah tidak baik, mengapa ? Karena seorang filsuf Yunani kuno pernah mengajarkan tentang somum bonum, yaitu kebaikan itu dilakukan demi kebaikan itu sendiri. Artinya, motivasi dan tujuan kebaikan itu hanya untuk kebaikan. Sedangkan orang yang berpikir bahwa dengan berbuat baik, ia bisa selamat, ia sedang berpikir bahwa ia berbuat baik agar supaya diselamatkan. Bagaimana kenyataannya jika ia tidak selamat ? Pasti, ia tidak mau lagi berbuat baik, karena percuma/sia-sia. Adalah suatu kekonyolan dari cara berpikir manusia : manusia yang berdosa lalu mencari penyelesaiannya dengan cara manusia (yang berdosa). Inilah kegagalan agama antroposentris yang menekankan amal baik. Perbuatan baik PASTI tidak sanggup menyelesaikan masalah dosa, lalu apa yang dilakukan manusia ? Beberapa manusia ada yang mencoba menutupi dosa-dosanya. Caranya ? Mudah sekali, ikutilah tren psikologi dengan balutan spiritualitas Gerakan Zaman Baru (New Age Movement) di abad postmodern ini yang mengajarkan bahwa semua adalah “allah”, maka dosa manusia “pasti” bisa “ditutupi/diselesaikan” dengan training-training pengembangan diri (human potential development). Tetapi benarkah demikian ? Apakah dosa bisa diselesaikan dengan tidak mengakui adanya dosa ? TIDAK. Justru, ketika dosa semakin ditutupi dengan tidak ada pengakuan, maka dosa itu semakin besar dan banyak. Mengapa ? Karena dosa berarti pemberontakan terhadap Allah, lalu kalau dosa itu tidak diakui, maka pemberontakan terhadap Allah juga tidak diakui, akibatnya dia makin memberontak terhadap Allah. Ambil contoh, apakah warna hitam ditutupi dengan kertas berwarna putih, maka warna hitam pasti tidak kelihatan ? Secara sesaat, mungkin warna hitam itu tidak kelihatan, tetapi ketika kertas putih itu ditarik, maka warna hitam itu jelas terlihat. Jadi, percuma saja dosa ditutupi, lama-kelamaan pasti terlihat. Selain berbuat baik, dan tidak mengakui adanya dosa, manusia semakin pesimis akhirnya hidupnya dibiarkan seliar mungkin. Tidak heran, manusia di zaman postmodern semakin hidup hedonis dan materialis, tanpa menghiraukan arti hidupnya. Itu adalah kompensasi dari kebingungan hidup di zaman postmodern ini. Akibatnya, dunia yang kita tinggali menjadi rusak (misalnya, polusi udara semakin meningkat, ozon semakin lama semakin bolong, dll) akibat ulah mereka yang hidup sembarangan. Sungguh mengasihankan. Lalu, bagaimana solusi terhadap masalah dosa? Bisakah diselesaikan dengan cara manusia ? TIDAK. Dosa manusia harus diselesaikan dengan cara di luar diri manusia yang tentunya tidak berdosa. Cara siapakah itu? Cara Allah ! Bagaimana Allah mengatasi masalah dosa manusia, padahal Allah itu Mahakudus, sedangkan manusia itu berdosa ? Apakah Allah cukup mengajari manusia tentang kebenaran ? TIDAK. Allah dengan kebijaksanaan-Nya yang sangat tinggi melampaui rasio manusia yang terbatas dan berdosa memutuskan untuk menebus dosa-dosa manusia dengan mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menjadi manusia. Kristus adalah 100% Allah dan 100% manusia. Doktrin dwi-natur Kristus ini banyak diserang oleh orang-orang dunia bahkan beberapa orang “Kristen” sendiri (misalnya, kaum Unitarian). Mereka berkata bahwa ini tidak masuk akal. Benar, ini tidak masuk akal kita yang terbatas dan berdosa, tetapi sangat masuk akal bagi Allah yang kekal dan Mahakudus. Mengapa Kristus harus berdua natur ini ? Mengapa tidak cukup satu natur ? Mari kita memikirkannya. Kristus bernatur Allah, karena hanya Allah yang sanggup dan mampu menebus dosa manusia. Tetapi bagaimana cara Allah menebus dosa manusia, jika Ia sendiri tidak menjelma menjadi manusia ? Oleh sebab itu, Kristus harus bernatur manusia, karena Allah tidak bisa mati, sedangkan manusia bisa mati. Dengan dwi-natur Kristus, Ia bisa mati sekaligus menebus dosa manusia. Di sinilah, problematika being dan becoming terpecahkan. Being menunjuk pada Pribadi Allah yang tidak berubah (kekal) dan becoming menunjuk pada pribadi manusia yang selalu berubah (sementara). Kedua hal ini ada di dalam Kristus, di mana dwi natur Kristus, menurut Pengakuan Iman Chalcedon, tidak terbagi, tidak tercampur, tidak terpisah.

Puji Tuhan, Kristus lahir di dunia ini, kelahiran-Nya bukan seperti kelahiran orang biasa (atau orang “suci”), tetapi kelahiran-Nya sangat khusus, karena kelahiran-Nya adalah Inkarnasi (=Allah menjadi manusia) yang dari kekekalan menembus ke dalam kesementaraan. Biarlah Natal tahun ini, bukan sebagai perayaan religius yang tanpa arti, perayaan rutinitas, atau perayaan sekuler tanpa makna Natal sesungguhnya, tetapi Natal tahun ini adalah Natal Inkarnasional, yaitu kita mengingat kelahiran Kristus sebagai Inkarnasi yang menebus dosa manusia dan membawa kedamaian sejati bagi manusia pilihan-Nya. Ketika Allah mau menjadi manusia demi kita yang najis, berdosa, bobrok, rusak total, dll, ingatlah, itu semua terjadi karena kasih dan anugerah-Nya serta keadilan-Nya yang Mahakudus sehingga setiap umat pilihan-Nya yang percaya beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16). Christmas is Incarnation ! Merry Christmas... Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita. Soli Deo Gloria.

No comments: