11 November 2007

BIBLICAL MUSIC (Ev. Stanly Maria Iskandar)

BIBLICAL MUSIC

oleh : Ev. Stanly Maria Iskandar
(Mahasiswi Fakultas Musik Gerejawi di Institut Reformed, Jakarta)



Biblical Music (1)

Musik adalah karunia Allah bagi manusia sehingga musik tidak pernah terpisah dari kehidupan manusia. Di mana ada kehidupan di sana ada musik. Musik merupakan everydayness. Jika ada orang yang menamakan dirinya “music-hater”, bagi saya dia bagaikan orang yang tidak suka nasi atau air putih. Tuhan memberikan musik dalam kehidupan manusia dan manusia boleh menikmatinya dalam seluruh hidupnya. Luther berkata, “Musik adalah anugerah terbesar setelah Alkitab.”

Karena setiap manusia bersinggungan dengan musik, jenis musik sendiri sangat beragam. Manusia menyatakan cintanya kepada Tuhan dan sesama lewat musik. Manusia menyatakan dukacita dan sukacita juga lewat musik. Bahkan untuk berperang pun ada musiknya sendiri. Musik berbicara banyak tentang kehidupan.

Tidak dapat disangkali bahwa ada musik-musik yang berbobot, tetapi juga ada musik yang dangkal. Ada musik-musik yang begitu kompleks, tetapi ada juga yang sederhana. Ada musik yang memiliki tingkat kesulitan yang tinggi sehingga diperlukan ketekunan untuk bisa memainkan atau menyanyikannya, tetapi juga banyak musik-musik yang mudah dihafal dan sering terdengar dalam kehidupan sehari-hari. Ada musik yang baik, ada musik yang buruk. Musik memiliki kekuatan yang dapat mempengaruhi kehidupan seorang manusia. Seseorang yang terus-menerus mendengarkan musik bernuasa cengeng akan menjadi seorang yang lemah dalam hidup, sulit berjuang, karena terus dibuai sehingga mental demikianlah yang terbentuk. Orang yang terus mendengar musik yang keras biasanya menjadi seorang yang keras dan ada kecenderungan pemberontak. Karena itu kita harus berhati-hati dan mengetahui musik seperti apa yang kita konsumsi.

Akan tetapi salah satu kesulitan membicarakan musik adalah karena orang-orang umumnya hanya mengerti musik di kulitnya saja, sehingga ketajaman mereka untuk membedakan kualitas tidak ada dan seringkali mereka puas terhadap apa yang mereka suka dengan alasan: “Yang penting enak atau bisa dipakai, tidak sulit, mudah, tidak eksklusif, lebih merakyat, lagi nge-trend, saya suka dan enjoy!” Mereka ingin musik yang instan, mudah dikonsumsi, dan semua pusat penilaiannya adalah SAYA.

Kita bisa mengamati bahwa biasanya orang menyukai musik yang mereka ketahui, dan cenderung tidak suka musik yang tidak mereka ketahui, asing, atau tidak mereka kuasai. Ini karena mereka tidak bisa mencapai, menikmati, dan menyanyikannya. Istilah gampangnya, level-nya tidak sama. I know what I like, I like what I know—dan apa yang saya suka mempengaruhi hidup saya. Sayangnya, justru orang yang hanya tahu sedikit tentang musik yang paling sulit berubah dan diajak berdiskusi tentang musik. Seharusnya kesukaan kita terhadap sesuatu jangan membatasi kita untuk belajar, karena dari mana kita tahu apa yang kita sukai itu benar?

Perdebatan tentang musik selalu menjadi topik yang relevan untuk dibicarakan, apalagi seiring dengan zaman yang terus berubah dan musik-musik yang semakin beragam. Menjadi tantangan bagi orang Kristen, sebagai Gereja di tengah-tengah dunia ini, sebagai wakil Tuhan, untuk menentukan manakah musik yang dapat dipakai dan tidak bisa dipakai untuk beribadah kepada Tuhan.

Sebenarnya jawabannya hanya empat kata: “Teruji oleh firman Tuhan” atau “Lolos ujian firman Tuhan.” 1 Tes. 5:21 mengatakan, “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.” Mudah bukan? Jika segala sesuatu sudah lolos ujian firman Tuhan lalu kita pegang yang baik, beres deh! Tapi kenyataannya tidak semudah itu! Ada banyak hal yang harus melengkapi kita dalam ujian Firman.
[1] Bagaimana kita memiliki pengetahuan firman Tuhan yang benar dan dalam? Theologi seperti apakah yang dimiliki dalam mempelajari firman Tuhan? Ini menjadi pertanyaan yang sangat penting. Setelah itu, bagaimana mengaitkannya dengan seluruh aspek hidup kita? Kita memerlukan pengertian yang cukup dalam theologi, musik, filsafat, dan budaya. Jika kita hanya mengerti musik, filsafat, dan budaya tetapi tidak memiliki pengertian yang benar terhadap firman Tuhan, atau tidak dapat mengaitkan semua itu dengan prinsip firman Tuhan, kita tidak bisa memiliki standar nilai terhadap sebuah musik yang baik. Demikian sebaliknya, kita tidak bisa mendaratkan prinsip firman Tuhan dalam realita jika kita tidak mempelajari bidang-bidang yang lain.

Saya akan membahas biblical music dalam bentuk poin-poin agar mudah dimengerti. Poin-poin ini tidak dipatok mati, tetapi saya percaya masih dapat dikembangkan. Seluruh poin ini diharapkan boleh membuka pikiran kita dan menjadi dasar menilai musik yang Alkitabiah. Semua poin ini didasari oleh semangat yang tertulis dalam 1 Tes. 5:21, “Teruji oleh firman Tuhan dan memegang apa yang baik.”

Sebelumnya, saya akan memberikan suatu pendahuluan yang menjadi kerangka untuk menilai musik yang Alkitabiah. Dalam Kej. 1 dikatakan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi serta isinya selama enam hari, dan Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik (ay. 31). Pada hari ke-7 Allah berhenti dan memberkati segala pekerjaan yang telah dibuat-Nya itu (Kej. 2:1-3). Dari seluruh ciptaan, manusia adalah ciptaan tertinggi karena diciptakan menurut peta teladan Allah, dan Allah memberikan mandat kepada manusia untuk memenuhi, menaklukkan, dan berkuasa atas bumi ini (Kej. 1:26-28). Bumi diciptakan, disediakan Allah untuk manusia, dan manusia yang diciptakan untuk hidup seutuhnya bagi Allah harus menjadi wakil Allah dalam dunia ini, melaksanakan mandat yang diberikan kepadanya agar semuanya itu boleh dipersembahkan kembali untuk memuliakan dan menikmati Allah selamanya. Hal ini dikaitkan dengan Roma 11:36 sebagai satu doxology: “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!”
[2]

Dalam mandat yang diberikan oleh Tuhan Allah terkandung tiga jabatan manusia, yaitu raja, nabi, dan imam. Sebagai raja, Allah memerintahkan manusia untuk memenuhi, menaklukkan, dan berkuasa atas bumi ini. Allah memberi tugas kepada Adam untuk mengusahakan dan memelihara taman Eden (Kej. 2:15). Sebagai nabi, manusia menjadi wadah kebenaran Allah dan menginterpretasikan alam ini sesuai dengan interpretasi Allah, sesuai dengan kehendak dan isi hati Allah. Adam, dengan hikmat yang diberikan Allah, melihat dan menginterpretasi, memberi nama kepada tiap makhluk yang hidup (Kej. 2:19). Fungsi imam merangkum semuanya, di mana manusia sebagai ciptaan beribadah kepada Allah Sang Pencipta dan mempersembahkan kembali hasil bumi kepada Allah sebagai korban persembahan (Kej. 4:3), sebagai doxology.

Alkitab sendiri tidak membicarakan musik secara teori, misalnya harus menggunakan tangga nada apa atau chord apa, tetapi Alkitab berbicara secara prinsip. Prinsip ini harus kita pegang sebagai standar menilai sebuah musik.
1. What is good music? What is beauty?
Dalam proses penciptaan, Allah Sang Pencipta, Sang Pribadi Kebenaran memberikan penilaian kepada ciptaan-Nya, yaitu “BAIK.” Penilaian ini menjadi dasar segala sesuatu yang baik di hadapan Allah dan inilah “baik” yang sesungguhnya. Dalam dunia seni dan estetika, “baik” diterjemahkan sebagai indah (beautiful), dalam dunia medis sebagai sehat, dalam dunia perekonomian sebagai makmur, dalam dunia sains sebagai tepat dan benar, dalam filsafat seabgai bijaksana, dan sebagainya. Setiap bidang memiliki bahasanya masing-masing untuk berbicara tentang “baik.” Tetapi semua yang dikatakan baik itu haruslah dinilai di hadapan Allah.
[3] Penilaian Allah adalah yang tertinggi dan terpenting. Alkitab mencatat: “Perempuan itu melihat, menginterpretasi bahwa buah pohon itu ‘baik’ untuk dimakan ….” Penilaian “baik” Hawa tidak sama dengan penilaian Allah (Kej. 2:16-17). Saat Kain dan Habel mempersembahkan korban kepada Tuhan, Kain kira dia layak, tetapi Tuhan menolaknya. Penilaian Kain tidak berdasarkan apa yang dinilai Tuhan. Di sini kita mendapatkan prinsip yang sangat penting; pengertian “baik” adalah ketika ciptaan, baik manusia maupun alam semesta, berespon dengan tepat sesuai dengan perintah dan penilaian Tuhan. Bagaimana kita menilai musik haruslah berdasarkan definisi Tuhan. Ibrani 11:28 mencatat: “… marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut.”

Kita mau tidak mau harus menyadari sebuah fakta sejarah yang sangat penting, yaitu ketika manusia jatuh dalam dosa, konsep baik dari manusia menjadi kacau karena yang menjadi standar dari baik bergeser bukan lagi pada penilaian Allah tetapi pada manusia yang berdosa, dan yang terjadi sekarang adalah ciptaan yang berdosa melawan Allah Sang Pencipta. Akibatnya, apa yang dinilai baik oleh manusia tidak tentu baik menurut standar Allah. Kalaupun bisa bersesuaian, itupun karena ditopang oleh anugerah umum Allah (common grace). Misalnya, Mozart atau Beethoven bukanlah seorang Kristen yang baik, tetapi dapat menghasilkan musik-musik yang indah dan bertahan ratusan tahun hingga hari ini. Di sinilah kita melihat anugerah Allah, sehingga tidak ada satu pun kebudayaan di dunia ini yang rusak total dan tidak mengandung kebenaran sama sekali, karena Allah masih menopang dengan anugerah-Nya. Tetapi hal ini bukan menjadi satu excuse bagi kita sehingga boleh memakai kebudayaan mana saja karena toh tetap ada anugerah Allah, tetap ada kebenaran Allah di dalamnya. Jika Allah Sang Kebenaran memberikan standar “baik” yang demikian sempurna, apakah kita berani dengan alasan seperti itu mempersembahkan kepada Allah musik-musik yang apa adanya, jelek, dan rusak, sementara ada musik-musik yang baik dan penuh kebenaran Allah tetapi kita tidak memberikan kepada Allah hanya karena kita malas, tidak suka, dan tidak mengerti?

Saat kita diselamatkan, diperdamaikan kembali dengan Allah, kita dimampukan kembali untuk berpikir, bertindak, serta menilai segala sesuatu berdasarkan sudut pandang Allah. Pusat penilaian dikembalikan lagi, bukan pada manusia tetapi pada Allah. Maka dengan segala kesadaran, kita seharusnya mempersembahkan musik yang baik kepada Tuhan.


2. Pengujian dari segala aspek
Alkitab juga mencatat sebuah prinsip penilaian atau pengujian Firman Tuhan terhadap musik yang baik dan indah dalam Filipi 4:8, yang menguraikan secara jelas apa itu keindahan (beauty): “… semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji ….” Kita melihat bahwa kebaikan dan keindahan dalam musik tidak hanya diuji dari satu aspek, misalnya melodi yang sedap didengar atau teks yang benar, tetapi keutuhan segala aspeknya, baik kebenaran, kemuliaan, kesucian, dan sebagainya. Pengujian segala aspek ini membuat penilaian terhadap musik tersebut objektif dan komprehensif.


3. Creativity as image of God
Segala sesuatu yang berada dalam waktu tidak terjadi begitu saja secara spontan tetapi dicipta atau ada yang membuatnya.
[4] Hanya Allah Sang Ada yang tidak dicipta, yang ada lebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia (Kol. 1:17). Alam semesta adalah ciptaan yang kelihatan yang diciptakan oleh Dia dan untuk Dia (ay. 16). CREATION is when the CREATOR CREATED the CREATURES; this is CREATIVITY. Dalam bahasa Inggris, kata dasar yang digunakan untuk semua ini adalah CREATE. Manusia memperoleh definisi kreativitas itu berdasarkan apa yang sudah dikerjakan Allah melalui tindakan penciptaan-Nya yang sempurna dalam alam semesta ini.

Sebagai peta teladan Allah, kita diberikan suatu kemampuan berkreasi dan Allah menuntut kita untuk berkreasi. Dalam menjalankan fungsi nabi, manusia dipercayakan untuk menemukan kebenaran Allah atau menginterpretasi apa yang sudah dinyatakan Allah dalam alam semesta melalui kreativitasnya.

Kreativitas Sang Pencipta dalam menciptakan dunia ini harus menjadi dasar bagi seluruh kreativitas manusia, dengan kesadaran bahwa kita terbatas dalam berkreasi karena kreativitas kita dibatasi oleh kreativitas Allah dan kita sendiri adalah bagian dari kreativitas Allah—sehingga kita tidak mungkin melampaui Allah. Ketika manusia melihat dan mempelajari alam semesta, ia mencoba merealisasi, mencipta, mengimitasi dalam bentuk musik. Beberapa prinsip kebenaran Allah yang berada dalam alam semesta, misalnya keteraturan, harmoni, kesatuan dalam keragaman (unity in diversity), individu dan komunitas, kompleksitas dan kesederhanaan (simplicity), besar dan kecil, dan kedinamisan, dijadikan prinsip dalam musik. Demikian juga alam semesta itu sendiri dapat juga dilukiskan dalam musik, seperti gunung, pohon, musim yang berganti, serta suara dan gerakan makhluk hidup baik binatang dan manusia, seperti berlari, berjalan, kepakan sayap burung, kebahagiaan, kemuliaan, keindahan, dan ketenangan. Kemudian di dalam konteks kejatuhan (fallen world), kita menambahkan variabel dalam musik, yaitu dissonan, disharmoni, dukacita, tragedi, kepanikan, dan lain-lain.

Jadi, jika seseorang berkreasi dalam dunia ini, walaupun nampak hebat dalam pandangan dunia karena dianggap sebagai sebuah perkembangan atau penemuan baru, namun jika tidak sesuai dengan interpretasi, penilaian, kehendak, dan kebenaran Allah, orang tersebut tidak bisa disebut kreatif (dalam definisi dan arti kreatif yang sesungguhnya), melainkan dia berdosa, karena tidak tepat pada sasaran (hamartia). Misalnya, musik-musik atonal yang sengaja dibuat untuk melawan sistem keteraturan dari tangga nada, dengan spirit di baliknya adalah pemberontakan. Demikian juga dengan “kreativitas” John Cage yang terkenal, 4’33”—ia hanya duduk selama 4 menit 33 detik di depan piano—yang disebutnya sebagai seni. Ia juga pernah menggabungkan dua belas siaran radio dalam spontanitas dan ia juga menyebutnya seni. Inilah contoh bentuk pemberontakan dalam bentuk kreasi seni.

Contoh yang lebih riil dalam kehidupan kita misalnya ketika manusia mencoba untuk menciptakan suasana sakral melalui musik. Musik menjadi the way of life. Musik yang digunakan menjadi identitasnya, menggambarkan ide dan cara hidupnya (rocker, gipsi), bahkan dipakai untuk divine action, misalnya orang-orang Indian memiliki tarian–tarian untuk menurunkan hujan. Di sini musik yang dipakai menjadi kurang penting dibandingkan dengan keinginan yang hendak dicapai. Akibatnya, dalam tarian-tarian seperti ini sangat tidak menjadi masalah jika musiknya, rhythm-nya monoton, diulang-ulang, tidak ada perkembangan melodi (yang sebenarnya sangat penting dalam musik yang baik), asalkan bisa men-drive mereka untuk mengangkat emosi dan melupakan diri (seperti trance), serta terjadi physical action seperti dalam rangka meminta hujan. Musik di sini menjadi sebuah mantera dan ini mirip dalam musik rap yang diulang-ulang, monoton, tidak ada pengembangan, demikian juga musik-musik New Age yang monoton, berulang-ulang seperti sebuah lingkaran, menciptakan suasana bersatu dengan alam—dan itu adalah sebuah kesengajaan karena pemikiran filsafat di baliknya. Sedihnya, hal demikian diadopsi oleh gereja-gereja sekarang, yang memakai musik-musik New Age dalam ibadah.

Kita dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya musik itu tidak netral, karena musik tidak berdiri pada dirinya sendiri; ia dicipta, ia merupakan kreasi, realisasi dari interpretasi manusia terhadap kebenaran Allah. Karena itu jika interpretasinya salah, musik yang dihasilkan pun salah dan hal ini sangatlah mungkin karena dalam dunia yang berdosa, pikiran, kehendak, dan emosi manusia berdosa pada hakekatnya melawan Allah. Maka, pernyataan bahwa “musik adalah netral” tidaklah benar. Tetapi, mengapa kita masih bisa menemukan musik-musik yang baik dari orang-orang yang tidak mengenal Tuhan dan teruji oleh prinsip firman Tuhan? Karena wahyu umum Allah dalam alam semesta menuntun manusia tersebut untuk berkreasi. Seperti dikatakan di atas, adanya prinsip kebenaran Allah dalam alam semesta menjadi dasar prinsip musik. Karena itu musik yang diciptakan oleh orang non-Kristen mungkin bisa lebih baik dan bagus daripada orang Kristen, apalagi jika orang tersebut belajar musik dengan baik. Sayangnya orang-orang yang belum percaya tersebut tidak mengerti makna dan arah kreativitas mereka. Ini semua menyatakan kelimpahan anugerah Allah yang tidak dibatasi oleh apapun kecuali oleh kehendak dan kedaulatan-Nya. Di lain pihak, keselamatan dari Kristus menjadikan kreasi kita bermakna karena kita mengembalikannya kepada Tuhan.

Sebagai peta teladan Allah, seharusnya kreativitas manusia dalam membuat musik bukanlah upaya pembuktian diri (self-existence) atau pemuasan diri, melainkan bentuk ketergantungan dan kewajiban serta tuntutan kita sebagai ciptaan, yaitu melakukan seperti apa yang sudah Allah lakukan terlebih dahulu. Kita dipanggil untuk mengekspresikan karakter dan atribut Allah dalam ketergantungan total dan harmoni dengan Allah, sehingga membuat musik sebagai sebuah tindakan beribadah (an act of worship). Ini adalah prinsip yang sangat penting di mana manusia dalam seluruh tindakannya meneladani, mengimitasi Allah sehingga dalam seluruh kreasinya manusia boleh menggaungkan kemuliaan-Nya.

Alat musik juga merupakan bagian dari kreativitas manusia. Alat musik memiliki bahan dasar yang berasal dari alam, baik itu kayu (ini yang terbanyak)
[5], metal, emas, marmer, kulit binatang, rambut kuda, dan sebagainya. Pertanyaannya adalah apakah seluruh alat musik tersebut dapat digunakan untuk beribadah kepada Tuhan dan memuliakan Tuhan?

Beberapa prinsip dasar yang dapat dijadikan pertimbangan adalah: yang pertama, kita harus sadar bahwa musik dan alat musik yang diciptakan oleh manusia itu tidaklah netral. Musik dan alat musik adalah wujud nyata dari interpretasi manusia. Manusia sebagai pencipta memiliki posisi lebih tinggi dari ciptaannya sehingga musik dan alat musik tidak boleh mengontrol kita, kita tidak boleh tenggelam di dalamnya. Manusialah yang harus mengontrol mereka. Ada musik-musik dan alat musik yang membuat kita dikontrol olehnya, misalnya musik-musik yang bernuasa trance, New Age dengan filsafat mengosongkan diri dan bersatu dengan alam, heavy metal, rhythm dari drum yang menguasai gerak tubuh dan emosi, distorsi dari gitar listrik. Hal demikian mengakibatkan kita menghasilkan ekspresi jiwa yang tidak natural. Kita di-drive oleh sesuatu dari luar sehingga kita memiliki kepuasan atas pemenuhan jiwa yang tidak berhenti di dalam Tuhan. Hal ini berlainan dengan iman Kristen di mana kita boleh bersukacita saat memuji Tuhan, hati kita begitu dipuaskan karena kita melihat kebaikan Tuhan, karya penebusan-Nya, pekerjaan dan kemuliaan-Nya, dan karena Tuhan sendiri yang menjadi sumber sukacita kita. Hati kita yang sudah dipuaskan oleh Tuhan terpancar keluar dalam bentuk ekspresi jiwa yang natural.

Pertimbangan yang kedua, setiap alat musik dapat menghasilkan bentuk musik dan rhythm tertentu yang menjadi ciri khas dari alat musik tersebut. Violin, misalnya, memiliki suara dari gesekannya paling menyerupai bahasa manusia. Musik-musik akustik biasanya sangat dekat dengan gesture tubuh manusia. Kita bisa memainkan suasana sukacita, kesedihan, riang, atau dukacita. Demikian juga dengan piano, oboe, dan flute. Lain halnya dengan drum yang bersifat monoton dan tanpa tangga nada. Ia tidak dapat berdiri sendiri, ia harus bersama-sama dengan alat musik yang lain untuk menjadikannya berarti.

Pertimbangan yang ketiga berkaitan dengan sifat Allah yang dinamis dan hidup. Allah memberikan rhythm dalam diri kita yang tidak kelihatan. Rhythm itu ada tetapi tidak mengganggu. Misalnya denyut jantung kita. Dia begitu stabil, tetapi terkadang bisa berdetak lebih cepat dan kembali lagi stabil. Maka tidaklah benar jika rhythm yang akhirnya menonjol, monoton, bertempo statis dan menguasai sebuah lagu. Misalnya rhythm yang ada di keyboard bertempo seperti metronome. Dalam hal ini drum sedikit lebih baik daripada iringan keyboard yang statis tersebut karena masih dapat diubah temponya. Kemudian, dalam menyanyi secara natural, kita perlu bernafas, sedangkan iringan tersebut, akibat kestatisannya, tidak memberikan kesempatan bagi kita untuk bernafas, sehingga kita sendiri menjadi tidak natural saat menyanyi, karena dikontrol oleh kestatisannya.

Ketiga hal ini kita bungkus dalam satu semangat ingin memberikan yang terbaik kepada Tuhan. Jika setelah kita belajar, kita melihat dan menemukan ada perbandingan yang lebih baik, kita harus dengan rela melepaskan selera kita dan berjalan, bertumbuh, dan mengganti dengan yang lebih baik. Keadaan seperti ini memang tidak enak, maka setelah kita diselamatkan, menjadi anak Tuhan, kita memiliki satu tugas dalam hidup kita, yakni terus disucikan di dalam segala aspek kehidupan kita termasuk taste kita dalam musik.

Sebagai seorang imam, kita harus mempersembahkan seluruh kreasi kita yang terbaik dalam bentuk musik, khususnya ke hadapan Tuhan sebagai persembahan yang hidup dan berkenan kepada Tuhan, sebagai bentuk ucapan syukur kepada Allah yang mengaruniakan segala yang baik dan kreativitas, serta sebagai suatu tugas yang dipercayakan Allah kepada kita sebagai wakil-Nya di dunia ini, di mana semuanya itu semata-mata hanya untuk kemuliaan-Nya di sorga dan di bumi ini.


[1] Di sini bukan berarti tidak mengakui sufficiency of the Bible.
[2] Hal ini sangat berlainan dengan konsep dunia yaitu demokrasi yang bersifat humanis yang mengatakan bahwa segala sesuatu dari kita (manusia), oleh kita, dan untuk kita: keberhasilan, kemuliaan, kejayaan adalah bagi kita yang sudah mengusahakannya.
[3] Kata “di hadapan Allah” sangat penting karena Allah adalah standar mutlak, yang absolut dari segala kebaikan oleh karena ketika manusia jatuh dalam dosa, tidak ada lagi standar kebaikan yang sejati dalam diri manusia karena ia terputus dengan Allah sehingga yang menjadi pusat penilaiannya adalah DIRI, bukan Allah.
[4] Hal ini pasti tidak sesuai dengan Evolusi yang percaya bahwa segala sesuatu dimulai dari kejadian yang spontan.
[5] Harpa, kecapi, gambus, gendang, rebana, piano, organ, pipe organ, harpsichord, strings (violin, viola, cello, conrtabass), fagotte, suling, oboe, timpani, gitar, dsb.



Biblical Music (2)

Seseorang mengatakan kepada saya, “Mengapa mengerti musik yang Alkitabiah begitu rumit dan berat sedangkan saya hanyalah orang biasa yang hanya ingin menyembah Tuhan dengan sepenuh hati dengan pengertian?” Kata hanya ingin menyembah Tuhan bukanlah sebuah perkara yang sederhana dalam Kekristenan. Menyembah Tuhan adalah panggilan utama dari Tuhan kepada setiap manusia sejak manusia diciptakan - bagaimana manusia berespon kepada Tuhan, beribadah kepada Tuhan menurut standar kesucian Allah yang sempurna, bukan sesuai keinginan dan kenyamanan kita. Menyembah Tuhan bukanlah perkara yang kecil dan remeh tetapi memiliki keseriusan karena setiap manusia secara pribadi berhadapan dengan Sang Pencipta kita. Tuhan memberikan Alkitab untuk menuntun kita dan memberikan pengertian agar kita tidak berdosa saat kita menyembah dia. Dengan segala kerendahan hati dan keinginan menyembah Tuhan yang juga digerakkan oleh Dia, kita harus berani menempuh kesulitan dan mempelajari segala bidang yang Tuhan bukakan bagi kita supaya seluruh hidup kita boleh menyembah Dia dalam Roh dan kebenaran.

Dalam edisi ini kita akan melanjutkan pembahasan kita tentang Biblical music poin ke-4 sampai ke-6:
4. Music as Sounding Theology
Musik memiliki dua pengertian yaitu secara sempit dan secara luas. Secara sempit dan sederhana, musik didefinisikan memiliki melody, harmony dan rhythm.
[1] Sedangkan secara luas, musik berkaitan erat dengan perkataan manusia. Kita menyebutnya sebagai bahasa. Alkitab mengajarkan bahwa umat Allah tidak hanya membicarakan dan memberitakan firman Tuhan saja, tetapi juga menyanyikan firman Tuhan (1 Taw. 16:9 ; Mzm. 33:2-3 ; Kol. 3:16). Musik sangat dekat dengan kata-kata yang diucapkan. Perkataan manusia memiliki semacam musik yang natural terkandung di dalamnya - intonasi, rhythm, pitch, timbre - dan sangat berkait erat dengan firman Tuhan di mana Tuhan menyampaikan Firman-Nya dalam kata-kata. Luther memiliki sebuah konsep berkaitan dengan hal ini yang dinamakan Verbum Vocal di mana perkataan Tuhan yang berotoritas dikaitkan dengan suara manusia, menjadi verbum theology atau sounding theology, yaitu kata-kata yang dibicarakan secara theologi, demikian dikaitkan dengan musik dan yang diakomodasikan adalah suara Tuhan.

Kitab Mazmur adalah puisi yang dinyanyikan, firman Tuhan dalam bentuk musik atau pujian. Mazmur adalah salah satu kitab yang paling disukai oleh Luther karena baginya kitab Mazmur merupakan kitab yang paling jujur, yang bukan saja berisi perkataan tetapi berasal dari hati para pemazmur, yang sesungguhnya bagaikan harta dari jiwa yang dibentangkan. Pemazmur tersebut membicarakan kesejatian iman dalam seluruh segi kehidupan mereka, bukan hanya ketika mereka diberkati oleh kebaikan Tuhan, tetapi ketika mereka mengalami badai dalam hidup mereka. Dalam pergumulan, iman mereka yang sesungguhnya menjadi nyata. Kehidupan mereka transparan di hadapan Tuhan.

Ada sebuah istilah yang saya dapatkan dalam kuliah untuk menggambarkan hal ini, yaitu struggle school of affection. Istilah ini ingin menyatakan bahwa kehidupan seorang Kristen dalam pengenalan akan Tuhan adalah sebuah sekolah. Artinya kita terus belajar dalam pergumulan kita untuk memiliki suatu afeksi
[2] yang benar sesuai dengan prinsip firman Tuhan, dan melalui pasal-pasal dalam Mazmur ini, pemazmur menyatakan pergumulan itu kepada Tuhan. Ini merupakan suatu pertempuran afeksi antara diri kita yang berdosa, penuh dengan pergumulan dengan pribadi Tuhan.

Kitab Mazmur merupakan theologi yang digarap dalam bentuk musik. Calvin bahkan mengatakan bahwa Mazmur adalah perkataan Tuhan sendiri. Musik-musik yang memiliki teks yang diambil dari Mazmur akan menjadi sounding theology yang menguduskan dan mentransformasi hidup kita. Teks yang diambil dari Mazmur memiliki bobot, kekentalan, kebenaran firman Tuhan sekaligus keindahan bentuk puisi. Musik tersebut akan menjadi indah oleh karena teksnya. Hal ini tidak dapat dibalik dengan mengatakan bahwa jika teksnya diambil dari kitab Mazmur maka musik tersebut pastilah indah. Seperti yang sudah dituliskan dalam artikel bulan lalu dalam poin ke-2, pengujian terhadap sebuah musik yang Alkitabiah haruslah pengujian secara integral. Tentu saja teks yang benar harus diimbangi dengan musik yang benar.

Mengutip dari buku “Karunia Musik” berkenaan dengan kitab Mazmur:
“Buku yang paling indah dari semua buku himne ini sangat disayangi umat Allah di sepanjang zaman. Kitab Mazmur menjadi satu-satunya sumber yang paling produktif untuk teks bagi komposisi musik di dunia musik Barat. Menyanyikan Mazmur merupakan aktivitas musik dari gereja yang paling awal dicatat, barangkali sebagai respon atas nasihat Rasul Paulus supaya kita “penuh dengan Roh, dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati” (Ef. 5:18-19). Kitab Mazmur menjadi tulang punggung musik rohani.”

Jika kita memperhatikan musik atau pujian yang dipakai gereja kebanyakan hari ini, memang banyak sekali teks yang diambil dari kitab Mazmur, yang khususnya membicarakan beberapa tema besar seperti kebaikan, kesetiaan Allah, kasih Allah, dan sorak-sorai. Tema lainnya yang cukup sering yaitu tentang keperkasaan dan kedahsyatan Allah.

Ada dua hal yang ingin saya soroti di sini. Pertama, kitab Mazmur memiliki begitu banyak tema yang tentu dapat digarap dalam bentuk musik yang dapat dinyanyikan oleh seorang Kristen. Kitab Mazmur tidak hanya berbicara tentang kasih Allah melulu tetapi juga berbicara tentang Allah sebagai Hakim yang adil, kesucian Allah, murka Allah, Taurat Tuhan yang sempurna dan menyegarkan jiwa, Allah sebagai sumber pengharapan, Allah Perisai dan Perlindungan, Allah Batu Karang, dan sebagainya. Di sini kita melihat kelimpahan pribadi Allah.

Sangat disayangkan jika kita sebagai orang Kristen, yang seharusnya dapat mengenal Allah dengan begitu limpah melalui firman Tuhan, khususnya dalam hal ini kitab Mazmur, hanya menggarap dan menggunakan musik atau pujian kepada Tuhan dalam aspek tertentu saja. Kita dapat menguji seberapa limpah pujian kita kepada Tuhan melalui kategori lagu-lagu yang kita nyanyikan. Jika kita memiliki dua puluh lagu untuk melukiskan pribadi Allah, lalu ternyata hampir semuanya membicarakan satu atau dua karakter Allah saja, sebenarnya kita belum menggarap pujian bagi Tuhan seperti apa yang sudah Tuhan nyatakan dalam Alkitab, dalam hal ini kitab Mazmur.

Hal kedua yang saya ingin soroti adalah berkaitan dengan pemenggalan ayat dalam kitab Mazmur yang dipakai untuk teks sebuah lagu. Misalnya Mazmur 106:1, “Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.” Kalimat ini sering dipakai dalam lagu, biasanya menjadi bagian refrain. Ayat ini sangat indah, tetapi saat ditulis dalam bentuk lagu akhirnya menjadi kalimat yang reduktif, dalam arti orang yang menyanyi maupun yang membuat lagu hanya mengenal ayat kesatu saja, tetapi tidak melihat keseluruhan pergumulan dari sang pemazmur, mengapa kalimat tersebut muncul. Pergumulan sang pemazmur dalam ayat-ayat selanjutnya tidak diambil untuk menjadi teks yang menyeluruh. Dalam Mazmur 106 hal ini sangat penting untuk menghindarkan pengenalan kita kepada Allah yang dangkal atau pengenalan yang konklusif tanpa adanya suatu proses pengenalan, pergumulan, yang bersifat afeksi, sehingga kalimat konklusif tersebut bukan menjadi suatu pernyataan iman melainkan hanya kata-kata belaka, yang menghasilkan pengetahuan yang parsial tentang iman Kristen.

Bagi Luther, firman Tuhan memberikan penghiburan atau kesembuhan jiwa secara inner comfort dalam theologi dan outer comfort dalam musik. Ketika keduanya digabung, maka terjadi true spiritual comfort. Musik yang gagal adalah musik yang tidak mendapatkan inner comfortnya.


5. Menyatakan iman yang sejati
Alkitab mencatat beberapa prinsip mengapa seseorang menyanyikan pujian dan memainkan musik kepada Allah: ketika mereka melihat perbuatan Allah (Mz. 150, Mz. 148, peristiwa Laut Teberau, Miriam menyanyi dengan rebana), kasih Allah (Mz. 136), kekaguman akan Allah (Rm. 11:33-36), kerinduan kepada Allah (Mz. 42), penggenapan janji Allah (Maria menyanyikan Magnificat—Lk. 1:46-55, Zakharia menyanyikan pujian atas penggenapan janji Allah akan lahirnya Juruselamat—Lk. 1:67-76, nyanyian para malaikat atas kelahiran Juruselamat—Lk. 2:14), dalam peperangan (peristiwa Yerikho—Yos. 6 ; Mzm. 149), dalam pergumulan dan mencari pertolongan (Mazmur banyak mencatat hal ini, seperti Mzm. 146, Mzm. 121, Mzm. 73), bahkan ketika Tuhan Yesus menyanyikan hymn pada saat-saat terakhir sebelum kematian-Nya. Di sini pujian menjadi satu respon yang natural yang diberikan kepada Tuhan.

Agustinus mendefinisikan hymn sebagai “pujian yang berisi, mengandung pujian dari Tuhan. Jika Engkau memuji Tuhan tanpa lagu, Engkau tidak memiliki hymn. Jika Engkau memuji apa saja tetapi tidak ada hubungan dengan kemuliaan Tuhan, bahkan jika Engkau menyanyikannya sekalipun, Engkau tidak memiliki hymn. Karena hymn memiliki tiga elemen: lagu (song) dan pujian (praise) kepada Tuhan (God).” Demikian Wahyu 19:6-7 mencatat, “… Halleluya! Karena Tuhan Allah kita, Yang Mahakuasa, telah menjadi raja. Marilah kita bersukacita dan bersorak-sorai, dan memuliakan Dia ….”

Definisi yang lain tentang hymn yaitu “pengakuan iman yang dinyanyikan kepada Tuhan karena manusia disukakan oleh perbuatan/anugerah Tuhan yaitu dalam keselamatan.”

Musik dari kekristenan sendiri berkembang setelah kebangkitan Kristus, membicarakan tentang salib, kemenangan, kebangkitan, dan hal ini merupakan inti iman Kristen. Keselamatan dan pujian menjadi satu paket. Maka musik muncul sebagai satu ekspresi kebangunan rohani (1Taw. 16:2; 2Taw. 15, 23, 29, 35). Keselamatan dari Tuhan menyucikan bibir dan membuka mulut kita untuk menyanyi (Mzm. 51:14-15; 12; Yes. 6; Zef. 3:9-12; Ibr. 13:15).

Mengapa semuanya ini dinyatakan melalui musik? Selain Tuhan sendiri memerintahkan kita untuk memuji Dia dalam pengertian musik secara sempit yaitu membuat musik, alasan yang lain adalah karena melalui musik, perkataan Tuhan menjadi mudah untuk diingat, sekali lagi menjadi sounding theology sekaligus, yang tidak kalah penting, menyatakan kesejatian iman kita. Saat kita menyanyi memuji Tuhan, kita memproklamasikan kepada dunia tentang iman kita dalam Tuhan Yesus Kristus sebagai suatu kepastian dan sukacita. Hal ini membuat kekristenan menjadi agama yang sangat berkait erat dengan musik.

Prinsip ini turun kepada orang-orang Kristen yang menciptakan musik bagi Tuhan sehingga saat mereka membuat lagu tidak sembarangan jadi lagu. Seringkali orang-orang mengatakan bahwa spontanitas adalah hal yang baik, dianggap sebagai kreatifitas, bahkan gerakan Roh Kudus ataupun puncak kecemerlangan. Mungkin saja ini sesekali terjadi. Tetapi ketekunan, pembelajaran, perenungan, serta pengertian akan Firman dan musik adalah hal yang sangat penting untuk menolong kita berkreasi dalam menggubah sebuah lagu. Tidak mungkin seorang yang tidak pernah merenungkan, menggumulkan imannya dalam kebenaran firman Tuhan dapat menuliskan teks yang begitu kental tentang iman Kristen. Jika kita secara khusus melihat lagu-lagu hymn, setiap kalimat dalam baitnya mengandung kekentalan pengajaran dan intisari iman Kristen. Para penulis lagu didorong oleh kecintaan mereka kepada Tuhan oleh karena Tuhan terlebih dahulu mencintai mereka dengan memberikan hidup-Nya.

Pada zaman Bapa-bapa Gereja, muncul bidat-bidat khususnya dalam doktrin Tritunggal dan Kristologi, dan pada zaman itu di Gereja muncul lagu-lagu bidat. Di sini kita melihat bahwa teks sebuah lagu tidak dapat lepas dari pengertian mereka terhadap Firman, atau lebih jelas saya menggunakan istilah doktrin. Akibatnya teks lagu yang ada pada saat itu menjadi sangat kritis karena menentukan iman mereka, dan di sinilah gereja berperang dengan bidat-bidat tersebut. Teks lagu yang ada harus begitu ketat dan kental karena di sanalah iman mereka dipertaruhkan.

Sementara hari ini, keketatan sedemikian dalam iman Kristen tidak lagi dipertahankan. Kita menjumpai tidak sedikit lagu-lagu yang memiliki teks begitu ringan, kalimat-kalimat dan kosakata yang digunakan begitu mirip dengan bahasa dunia ini, sehingga menjadi rancu. Kerancuan muncul seperti zaman Bapa-bapa Gereja juga tetapi kali ini Gereja tidak bisa dibedakan dengan dunia. Teks lagu yang saya pernah baca, saya tidak ingat persis, berbunyi demikian, “Yo, mari semua, daripada bengong, pusing-pusing, lebih baik nyanyi buat Tuhan!” Teks yang begitu ringan dan menggunakan bahasa demikian menghilangkan kesakralan dari lagu tersebut dan keseriusan dalam memuji, datang kepada Tuhan.

Atau, teks yang ada hanya membicarakan kasih Allah: “Allah itu baik,” “kasih-Nya tidak berkesudahan,” “Ia selalu mengampuni kesalahan kita,” “Ia menopang, mengangkat bila kita jatuh,” “Dialah Bapa kita,” “Pemelihara,” “Mencukupkan,” “Menyembuhkan,” “Mendengar Doaku,” “Memberkatiku berkelimpahan,” “Ia memelukku,” “Ia menggendongku,” dan sebagainya. Semua pujian adalah berkat Allah kepada kita. Siapa yang tidak senang menjadi orang Kristen?

Di manakah tanggung jawab kita sebagai orang Kristen yang menyatakan iman yang sejati? Di manakah tema-tema “Pikul Salib,” “Taat kehendak-Nya,” “Buah-buah Roh,” “Pengakuan dosa,” “Hidup berkorban,” “Berperang bagi Kerajaan Allah,” “Mempersembahkan diri, harta, tenaga,” “Waktu dan Talenta bagi Tuhan,” “Murka Allah,” “Kristus satu-satu-Nya jalan,” “Penderitaan Kristus,” “Kebangkitan Kritus,” “Iman,” “Pengharapan,” “Dukacita,” dan sebagainya?

Terlalu sedikit sebenarnya pujian yang sungguh-sungguh menyatakan iman Kristen yang sejati kepada dunia ini. Jika seseorang bertobat oleh karena musik yang mereka dengar, apakah mereka siap menjadi seorang Kristen seperti yang dituntut Alkitab? Apakah musik kita menunjukkan kehidupan Kristen yang sesungguhnya?


6. Memiliki bobot dan dignitas
Calvin mengatakan bahwa menyanyi tidak boleh superficial tetapi harus dengan bobot dan dignitas. Saya percaya bobot dan dignitas bukan hanya persoalan menyanyi secara sempit saja, tetapi bicara seluruh kehidupan yang dituntut oleh Tuhan, agar kita memiliki kehidupan yang berbobot dan memiliki dignitas, termasuk dalam bidang musik. Rasul Paulus mengatakan, “Aku tahu siapa yang kupercaya.” Di sini Paulus menuntut kehidupan Kristen yang berbobot, memiliki kedalaman, pengenalan akan Tuhan yang dipercayainya. Lalu perkataan Tuhan Yesus, “Sangkal diri, pikul salib, ikut Aku,” dan perkataan Paulus, “Semua kuanggap sampah oleh karena pengenalanku akan Kristus,” di sini bicara tentang dignitas. Nilai kehormatan kita ditaruh di dalam Kristus. Sebuah buku yang ditulis oleh Richard L. Pratt berjudul “Designed for Dignity” menyatakan bahwa Allah memanggil dan merancang kita untuk kemuliaan-Nya.

Di sini saya melihat berarti tidak semua musik dapat dipersembahkan kepada Allah jikalau kita benar-benar sadar harus memberikan yang terbaik kepada Tuhan. Kita perlu mengingatkan diri kita selalu saat kita hendak memberikan yang terbaik kepada Tuhan. Harus ada proses pembelajaran dan keberanian untuk berubah ke arah yang lebih baik karena kita semua sedang terus bertumbuh untuk menjadi serupa dengan Kristus. Kata “menjadi” berarti kita tidak sedang berada dalam satu titik, tetapi terus-menerus berubah dan perubahan itu akan terus terjadi sampai kita mati. Yang menjadi masalah ketika segala sesuatu berubah, perubahan tersebut berubah ke arah mana? Ke arah yang semakin baik atau semakin buruk?

Kembali kepada konsep Calvin tentang bobot dan dignitas. Jika Tuhan menuntut bobot dan dignitas berarti yang tidak berbobot dan tidak memiliki dignitas tidak boleh dipersembahkan kepada Tuhan. Hal ini menjadi lawan kata dari popular culture yang dengan jelas membicarakan tentang kedangkalan. Pop culture ini sengaja menghindari kedalaman tetapi mengutamakan kemudahan dan penerimaan dari masyarakat. Jangkauan dari pop culture adalah massa secara kuantitatif. Maka secara otomatis kualitas akan berkurang. Karena jika kita menghilangkan kedalaman/kualitas, proses pembelajaran akan berkurang sebab sangat mudah diterima karena easy listening. Gereja-gereja sekarang begitu banyak yang hanya menggunakan lagu-lagu pop dalam gerejanya dan mereka sendiri akhirnya memiliki suatu persepsi anti terhadap musik-musik yang memiliki kualitas lebih tinggi; mereka menyebutnya sebagai high culture atau elite. Akibatnya, musik-musik yang berkualitas dikeluarkan dan tidak ada lagi di gereja tetapi berada di gedung konser dan dipakai oleh orang-orang yang tidak mengenal Tuhan. Mereka menikmati keindahan dan kedalaman anugerah Tuhan, sedangkan kita yang diberikan Tuhan, yang ditebus mahal oleh darah-Nya, menyia-nyiakan dan menganggap musik-musik demikian susah, sulit, dan tidak bisa menjangkau orang-orang datang kepada Tuhan.

Ngomong-ngomong tentang menjangkau orang kepada Kristus, apakah musik harus dikompromikan demi alasan menjangkau orang datang ke gereja kepada Kristus? Di sini musik menjadi satu entertainment yang memuaskan kesenangan bagi manusia yang berdosa tersebut. Saat mereka percaya kepada Tuhan mereka tidak merasa ada suatu perubahan, karena musik yang dipakai di gereja toh sama saja dengan kehidupan mereka yang lama, yang mereka pakai di dunia. Lalu apa bedanya musik dunia dengan musik Kristen? Hanya karena ada kata Yesus? Saya melihat sekarang pun banyak lagu-lagu yang katanya lagu Kristen, dipakai beribadah, tetapi tidak ada lagi inti iman Kristen, apalagi kata Yesus. “Mengapakah kita harus menggunakan budaya mereka untuk membawa mereka datang kepada Kristus?” demikian Pdt. Billy Kristanto pernah mengatakan dalam sebuah kelas. Beliau mengatakan, “Menginjili orang melalui musik dengan pendekatan dan mencintai apa yang ada pada dia? Kebudayaan bukan yang ada pada dia! Kita justru harus menghancurkan apa yang ada pada dia dan membangun kembali sesuatu yang baru berdasarkan Alkitab.” Kita harus membalik pemikiran yang salah tentang penginjilan. Manusia bertobat dan percaya kepada Tuhan adalah berdasarkan iman yang timbul dari pendengaran akan firman Tuhan. Musik hanya menjadi salah satu alat dalam penginjilan. Yang terutama adalah firman Tuhan. Maka kita tidak perlu mengkompromikan musik hanya agar mudah menjangkau mereka. Jikalau mereka bertobat karena musiknya sama dan mudah diterima oleh mereka, jangan-jangan mereka bertobat tanpa mengerti mengapa mereka menjadi Kristen, tidak mengerti arti penebusan Kristus dan apa arti hidup dan percaya Kristus. Jika seperti ini jadinya, rusaklah kekristenan.

Saya pernah membaca sebuah buku, di situ diceritakan ada seseorang yang sebelumnya terlibat semacam okultisme. Singkat kata orang tersebut bertobat dan datang ke gereja. Saat dia datang ke gereja dia menjadi sangat kaget dan tidak bisa beribadah dalam gereja karena musik yang dipakai di gereja sama dengan musik yang dipakai sebelumnya, sehingga seluruh pengalaman dia menjadi flash back.

Suatu kali saya dan teman-teman baru pulang latihan paduan suara. Kami satu mobil kurang lebih lima orang. Saat itu kami sedang mendengarkan salah satu saluran radio yang sedang memutarkan musik bergaya romantic, lagu-lagu cinta seperti itu. Awalnya kami tidak tahu lagu apa itu, tiba-tiba teman saya nyeletuk, “Ih, seperti lagu gereja yah, ini lagu apa sih, judulnya apa?” Lalu disanggah oleh teman saya yang lain, “Musik ini yang seperti gereja atau gereja yang seperti ini? Siapa seperti siapa? Siapa ikut siapa?” Lalu kami jadi sadar dan sama-sama tertawa sedih.

Seorang guru sejarah musik pernah bercerita tentang pengalamannya. Ia pernah diminta untuk membuat lagu-lagu Kristen yang dapat dipasarkan. Orang tersebut mengatakan kepada guru saya, “Bu, tolong buatkan lagu rohani supaya saya bisa menjual untuk orang-orang Kristen, apa saja, yang penting laku untuk dijual.” Tentu saja sang guru menolaknya. Itu sangat mengerikan. Musik yang harusnya dikembalikan kepada Tuhan, dan seharusnya keluar dari hati yang mengenal Tuhan, sekarang dijadikan komersil dan ironisnya orang-orang Kristen membeli semua lagu rohani yang katanya sekarang lagi nge-trend, new release, dan jika saya tidak mengetahuinya maka saya dan gereja saya akan ketinggalan zaman. Kenaifan orang Kristen dimanfaatkan oleh orang-orang yang ingin mencari keuntungan di dunia musik dan orang Kristen tidak tahu, mereka menjadi polos di tempat yang salah.

Di manakah bobot dan dignitas dari kekristenan, dari gereja yang seharusnya menjadi penuntun, menjadi teladan, menjadi terang dan garam bagi dunia ini? Gereja kehilangan power untuk menarik orang kepada Kristus dan akhirnya menggunakan berbagai macam daya tarik dunia yang diakomodasi dalam kekristenan. Mengapa? “Simply karena tidak meninggikan Kristus,” demikian Pdt. Billy Kristanto menjawab. Kita harus ingat bahwa konsep Kerajaan Allah, gereja yang sejati sepanjang zaman, tidak akan pernah populer tetapi ia terus ada sepanjang zaman, menyuarakan kebenaran dan mengganggu. Siapakah yang mau ikut jalan sempit ini - tidak dikenal, tidak populer, tetapi boleh berada di jantung hati Tuhan?

Apakah yang sebenarnya hendak kita nyatakan melalui musik ketika kita mengetahui bahwa musik sendiri memiliki peranan yang penting dalam Kekristenan? Jika kita diberi kesempatan untuk mengetahui dan mempelajari kebenaran Tuhan dalam aspek musik maka kita harus memikirkan peranan dan tanggung jawab kita dalam penggarapan musik gereja yang baik, yang seharusnya dipakai oleh gereja untuk menyembah Tuhan. Kiranya edisi demi edisi boleh semakin membuka wawasan dan menggerakan hati kita untuk melayani Dia dengan kebenaran firman Tuhan.


[1] Masih ada aspek lain seperti tempo, dinamika, dan sebagainya. Ketiga hal di atas hanya dasar sesuatu dapat disebut musik.
[2] Afeksi adalah sebuah perasaan yang begitu mendalam dan penuh dengan keseriusan, bukan hanya sekedar emosi sementara atau permukaan. Misalnya, perasaan sedih karena tidak bisa makan es krim tentu berlainan dengan kesedihan atau dukacita ketika orang tua kita meninggal.



Biblical Music (3)
Musik yang Alkitabiah harus memliki aspek vertikal dan horisontal

Pada saat kita membicarakan biblical music kita tidak mungkin lepas dari satu topik besar, yaitu worship. Allah yang sejati menjadi subjek sekaligus objek penyembahan tertinggi dari umat pilihan-Nya, dan musik menjadi ekspresi dan elemen yang penting dalam ibadah tersebut. Banyak penulis Kristen sudah menulis tentang Music and Worship karena melihat kebahayaan yang terjadi dalam banyak gereja. Mereka menyebutnya “peperangan theologis,” untuk menyatakan keseriusan terhadap penyelewengan ini. Dalam bagian ketiga artikel ini akan dibahas kaitan antara musik dengan ibadah kita kepada Tuhan.


7. Menyembah Tuhan dan membangun sesama
John Frame menyatakan dalam bukunya “Worship in Spirit and Truth” bahwa musik yang Alkitabiah harus memliki aspek vertikal dan horisontal. Secara vertikal berarti kita menyembah Tuhan dan secara horisontal membangun sesama (edify others).

Rasul Paulus menggunakan kata “membangun” berulang kali untuk mengingatkan jemaat Korintus (1 Kor. 14) untuk saling membangun sebagai kesatuan tubuh Kristus melalui kebebasan dan karunia yang mereka miliki. Demikian Roma 14, khususnya ayat 13, mencatat hal yang serupa, yaitu agar kita tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Kedua bagian ini didasari prinsip yang penting, yaitu kasih (1 Kor. 13). Hal ini pun merupakan hukum yang dikatakan Tuhan Yesus di Mat. 22:37-39. Dalam kasih kita tidak mementingkan diri, kesenangan, dan cara kita sendiri. Justru salah satu bentuk ujian terhadap penyembahan yang benar adalah apakah itu didasari dan teruji oleh kasih yang sejati. Apakah kita sedang menyembah Tuhan dengan cara yang berkenan kepada-Nya?

Gereja harus membangun jemaatnya melalui pengajaran dan penggunaan musik yang baik sehingga jemaat bertumbuh dalam pengetahuan mereka tentang musik. Dengan demikian jemaat diperlengkapi dengan pengetahuan untuk menyembah Tuhan dengan benar dan pertumbuhan rohani juga terjadi karena musik-musik tersebut dibangun berdasarkan prinsip-prinsip firman Tuhan (Ef. 5:19, Kol. 3:16).


8. Janganlah menjadi serupa dengan dunia ini!
Rasul Paulus di Roma 12 menuliskan bahwa kehidupan kita yang sudah ditebus oleh darah Kristus yang mahal merupakan kehidupan yang harus terus diubahkan (be transformed) agar kita memiliki cara pandang (mindset of life) yang berbeda dengan dunia ini, sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada-Nya.

Demikian juga dalam Injil Matius, Alkitab menyatakan bahwa panggilan seorang Kristen yang sedang berjalan dalam Redemption menuju Consummation adalah menjadi garam dan terang dunia; artinya kita dipanggil untuk me-redeem baik manusia berdosa (mandat Injil) maupun seluruh aspek kehidupan manusia berdosa dalam dunia yang berdosa ini (mandat budaya), termasuk musik.

Di bawah ini akan dibahas dua contoh jenis musik yang tidak dapat kita pakai dalam ibadah:
Jazz
Ada tiga alasan yang akan dibahas dalam bagian ini. Pertama, jazz bukan musik gerejawi sejak awalnya, tetapi musik yang dimainkan di tempat-tempat dansa, parade, pernikahan, bahkan kematian. Kedua, musik jazz mempunyai ciri musik tanpa penyelesaian dan kepastian atau sebut saja musiknya menggantung. Hal ini tidak bersesuaian dengan iman Kristen di mana Kristus datang ke dunia, disalib justru untuk memberikan kepastian jalan keluar bagi manusia berdosa (Redemption) sehingga kita tidak terus berada dalam dosa dan hukuman yang kekal (Fall).

Dalam musik terdapat istilah leading note. Nada ke-7 (baca: si) dalam sebuah tangga nada disebut leading note karena nada ke-7 tersebut harus dan akan menuju tonika yaitu nada ke-1 (baca: do).

1 2 3 4 5 6 7 (leading note) 1 (tonika)
(do) (re) (mi) (fa) (sol) (la) (si) (do)

Musik Jazz menggunakan pergerakan chord 7
[i] ini sebagai pilar dari seluruh musiknya. Jika Saudara dapat bermain alat musik, Saudara boleh coba mainkan chord ini: C7 – Am7 – F7 – Dm7 – G7 – C7. Setiap chord selalu diakhiri dengan leading note yang tidak pernah menuju tonika. Coba nyanyikan dengan perlahan rangkaian not berikut ini : 1 2 3 4 5 6 7 atau dalam bentuk broken chord 1 3 5 7. Secara otomatis dan natural akan menimbulkan perasaan tidak enak karena ada pengharapan yang belum atau tidak terpenuhi. Akan sangat berlainan jika dinyanyikan : 1 2 3 4 5 6 7 1 atau dalam bentuk broken chord 1 3 5 7 1. Rasanya langsung tenang dan selesai! Itulah Redemption point! Pengharapan kita terjawab tuntas di dalam Kristus. Inilah ciri musik yang Alkitabiah.

Ketiga, pembalikan ketukan akibat singkup terus-menerus terjadi dalam musik jazz, yang bukan hanya penekanan di beat 2 dan 4 tetapi juga banyaknya singkup antar ketukan. Penggunaan singkup yang terus-menerus memberikan kesan ketidakstabilan, kegelisahan, kepanikan, dan pada akhirnya mengaburkan beat yang sesungguhnya. Singkup adalah sesuatu yang tidak natural dan kita melihatnya sebagai realita dosa yang tidak dapat kita sangkali dalam dunia ini. Maka, pemakaian singkup dalam sebuah lagu tidak boleh mendominasi dan harus di­-redeemed dengan kembalinya ke down beat dalam proporsi yang dominan.

Rock
“Christian Rock Music!” Bagaimanakah kedua istilah yang bertentangan ini dapat bergabung menjadi satu, sementara Alkitab mencatat gelap dan terang tidak bisa bersatu?!

Sekitar permulaan tahun 1960-an musik rock identik dengan semangat pemberontakan yang ditunjukkan melalui musiknya yang tidak natural, misalnya melalui volume yang sangat keras (loudness), pukulannya (pounding beat), dan arah/kecenderungan seksual (sexual directness), serta penggunaan obat-obat terlarang. Semangat pemberontakan ini diiringi dengan seruan “freedom!” sehingga membuat anak-anak muda sangat mudah menerima musik ini sebagai suatu bentuk aktualisasi diri dari kehidupan yang tidak ingin dikontrol. Firman Tuhan justru mengajarkan kehidupan yang dikontrol oleh kebenaran Allah, bukan kebebasan tanpa kontrol.

Musik ini sering diadopsi gereja. Banyak orang ingin melayani Tuhan tanpa melepaskan keinginannya yang berdosa ini. Para pemusik dan penyanyi di gereja tidak lagi dengan sadar memiliki pengertian fear of the Lord tetapi lebih berfokus kepada bagaimana membuat ibadah more friendly and free! Bagaimanakah seorang yang kehidupannya tidak kudus dapat melayani Allah yang kudus? Mengapa gereja yang penuh kekudusan malah mengambil teladan dari orang-orang yang berdosa? Mengapa gereja harus memakai musik yang mengajarkan semangat kebebasan tanpa kontrol seperti ini karena ketakutan tidak dapat menjangkau generasi muda dan ketinggalan zaman? Di manakah kekuatan gereja untuk menjadi garam dan terang jika gereja menjadi serupa dengan dunia ini?

Melalui beberapa contoh di atas kita melihat bahwa musik sendiri tidak netral karena adanya fakta fall yang membuatnya berpotensi berdosa dan tidak Alkitabiah. Hal ini merupakan tantangan bagi gereja untuk berhati-hati dalam memilih musik yang digunakan dalam ibadah, karena gereja adalah mempelai Kristus yang harus datang dengan tangan yang bersih dan hati yang murni (Mz. 24:3-4), serta dengan ketaatan dan kesucian yang dituntut Allah sendiri (1 Ptr. 1:16). Inilah ciri khas paling dasar dari gereja, karena Allah memisahkan gereja-Nya, menyucikan gereja-Nya, untuk hidup bagi Dia. Kita tidak perlu takut, karena kekristenan memang harus berbeda. Berita Injil terlalu mulia untuk dikompromikan dengan sistem dunia ini. Justru Injil diberitakan untuk menyatakan dosa, sehingga berita ini akan menggelisahkan, dan bukan memberikan rasa nyaman bagi dunia berdosa.


9. Pujian dan kemuliaan bagi Allah selamanya
Semua orang Kristen pasti mengetahui bahwa kita diciptakan untuk memuliakan Allah dan merefleksikan kemuliaan Allah (Yes. 43:7). Alkitab berulang kali memberikan alasan mengapa kita harus memuliakan Allah (Rom. 11:36; Mz. 29:2; 105:3; 115:1) dan secara khusus dalam hal menggunakan musik (Mz. 66:2; 96:1-3). Paulus sendiri menuliskan dalam suratnya kepada jemaat di Efesus dan Kolose agar mereka ber-doxology dalam mazmur, puji-pujian, dan nyanyian rohani (Kol 3:16; Ef 5:19). Akan tetapi, bagaimanakah kita dapat mengetahui musik yang kita persembahkan kepada Allah adalah musik yang berkenan kepada-Nya atau tidak? Hal inilah membuat musik krusial dalam kekristenan. Pergerseran yang sedikit saja akan membuat seseorang tidak lagi memberikan pure doxology to God!

Mengapa seseorang tidak dapat ber-doxology? Hanya satu alasan saja, yaitu karena dia tidak berpusatkan kepada Allah Tritunggal, sehingga yang menjadi pusat dalam ibadahnya, persembahannya, pelayanannya bukan Allah, melainkan dirinya sendiri. Lawan dari God-centered worship adalah man-centered worship. Hal ini sangat tipis sekali bedanya karena saat orang bersama-sama berada dalam gereja, semua menyebut nama Yesus Tuhan. Akan tetapi, sungguhkah seruan itu berpusat pada pribadi Allah? Tentu saja di gereja tidak akan ada orang yang berani mengatakan “Sembah saya!” “Lihatlah kehebatan saya menguasai ibadah!” “Lihatlah permainan musik saya yang begitu mengagumkan!” “Pujian dan kemuliaan bagi saya!” tetapi cobalah baca tulisan di bawah ini:
Attention to human dignity should also make the church sensitive to the fact that our music making, if we are not careful, may result in manipulation. ... the line between using music to encourage the congregation to worship and using it to manipulate human affection is sometimes difficult to discern (and sometimes not so difficult!). But worship leaders must at least be aware of the possibility that music may be used to manipulate people, whether intentionally or unintentionally ... good may be bad.
[ii]

Bapa gereja Agustinus juga melihat akan kebahayaan yang dapat ditimbulkan oleh musik, sehingga ia memiliki pandangan dua sisi tentang hal ini. Bagi dia di satu sisi musik baik karena menggerakkan manusia kepada perenungan yang lebih dalam. Akan tetapi, di sisi yang lain, musik dapat menimbulkan kebahayaan yang disebabkan oleh nafsu kedagingan kita, yaitu ketika kita mendengarkan musik, kita dikacaukan, dipecahkan, dihambat justru oleh musiknya, sehingga orang tidak lagi memperhatikan kata-katanya tetapi alunan. Hal demikian adalah dosa karena pada saat terjadi, manusia sedang dikontrol oleh musik yang adalah ciptaan yang tidak berpribadi (impersonal), padahal seharusnya manusia sebagai pribadi (personal) yang menciptakan musik (impersonal) menguasai dan menaklukkan musik yang diciptakannya. Banyak sekali orang Kristen menyembah Tuhan dengan emosi yang sangat berlimpah bukan karena di-drive oleh rasio (understanding) tetapi oleh musiknya—bukan karena pengertian terhadap apa yang dinyanyikan, tetapi karena menikmati goyangan musiknya dengan penuh kenyamanan. Musik memang memiliki daya tarik melalui rythmn, loudness, tempo, thumber
[iii] yang digarap dalam lagu melalui alunan melodi yang dapat membangkitkan afeksi, sehingga seseorang dengan tiba-tiba dapat memiliki perasaan bersemangat atau suasana mellow. Dalam keadaan seperti ini, manusia mudah sekali merasa nyaman dan mulai menikmati diri dalam musik tersebut.

Lalu Tuhan di mana? Tuhan dimanipulasi dengan kita menyebut nama-Nya, menyanyi bagi Dia, tetapi bukan menikmati Dia, melainkan menikmati suasana dan keadaan diri kita yang sedang “menyembah” Tuhan. Sadar atau tidak, yang menjadi tujuan akhir adalah kepuasan diri melalui penyaluran suatu perasaan religius kepada Allah. Banyak pemimpin pujian dan pemain musik justru menggunakan kesempatan melalui suatu performa yang dapat mendorong jemaat untuk menyalurkan afeksinya. Jika dalam suatu kebaktian jemaatnya bersemangat, menangis, berteriak-teriak, menari, melompat-lompat, dianggap ibadah tersebut berhasil. Lima pertanyaan yang perlu ditanyakan atas fenomena seperti ini adalah sebagai berikut. Pertama, kenikmatan itu didorong oleh apa dan siapa? Kedua, para pemain musik dan pemimpin pujian sedang melayani apa dan siapa? Ketiga, perubahan (transformasi) seperti apa yang dihasilkan setelah semuanya terjadi—apakah jemaat semakin beriman dan mengenal Allah? Keempat, jika semuanya itu tidak ada, apakah jemaat tetap dapat menikmati Allah? Kelima, siapa yang menjadi pusat dari kesemuanya itu, siapakah sesungguhnya yang sedang disembah dan dipuaskan?

Lalu kita mungkin bertanya apakah sebenarnya ada tempat untuk kita bersukacita dan memiliki kenikmatan dalam menyembah Allah? Tentu saja ada, karena kita memang diciptakan untuk menikmati Allah. Seseorang yang menikmati Allah merupakan hasil dari seseorang yang meninggikan dan memuliakan Allah. Kedua hal ini tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lain. Jika gereja meninggikan Kristus, maka jemaat akan dibawa kepada Kristus. Sebuah artikel yang ditulis dalam “Christian History” yang membahas tentang pengaruh musik Bach dalam dunia musik menyatakan bahwa kelebihan dari Bach adalah saat kita mendengar musiknya atau membahas musiknya kita tidak akan pernah bisa melepaskan Bach dari iman Kristennya. Kita dapat mengerti Bach saat kita mempelajari karyanya secara theologis. Karya-karya Bach dikatakan sebagai “the fifth Gospel.” Mengapa? Jika keempat Injil membicarakan tentang Kristus, demikian juga yang Bach lakukan. Dikatakan dalam artikel tersebut, “Bach memiliki kemampuan untuk menempatkan pendengarnya di kaki salib.”

Dari sini kita belajar bahwa seseorang memuliakan Tuhan dengan cara yang benar, Tuhan bekerja melalui musiknya sehingga boleh membawa orang untuk semakin mengenal iman Kristen, khususnya membawa orang kepada Kristus sendiri. Setiap orang boleh dikuatkan dalam iman sementara ia berada dalam dunia ini untuk menantikan kedatangan-Nya yang menjadikan kita sempurna dan tak bercacat. Dengan hati yang jujur dan melalui pengertian musik yang cukup, serta didasari pengenalan yang benar terhadap firman Tuhan, marilah kita sebagai gereja dan peta teladan Allah yang sudah ditebus mempersembahkan kembali musik yang baik kepada Allah untuk kemuliaan-Nya.

Setelah pembahasan tiga edisi berturut-turut, biarlah kita boleh memiliki pengertian yang komprehensif tentang biblical music. Saya mengakhiri pembahasan Biblical Music ini dengan mengutip sebuah lagu yang berjudul “Open My Eyes” dan biarlah lagu ini boleh menjadi doa kita bersama :
Open my eyes that I may see glimpses of truth Thou hast for me;
Place in my hands the wonderful truth that shall unclasp and set me free
Reff : Silently now, I wait for thee, ready my God, Thy will to see,
Open my eyes illumine me, Spirit Divine!

Open my ears, that I may hear voices of truth Thou sendest clear:
And while the wave notes fall on my ear, ev’rything false will disappear

Open my mouth, and let me bear gladly the warm truth ev’rywhere
Open my heart and let me prepare love with Thy children thus to share

Soli Deo Gloria!


[i] Chord 7 terdiri dari nada 1-3-5-7.
[ii] Herbert W. Bateman IV (ed), Authentic Worship (Grand Rapids: Herbert W. Bateman IV, 2002), 164-165.
[iii] Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada Bulletin Pillar bulan Oktober “Music and Body” Part One hal. 9, 10.



Sumber :
Buletin Pemuda Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) : PILLAR Edisi September s/d November 2007 (www.buletinpillar.org)




1 comment:

Anonymous said...

terima kasih atas pencerahan yang diberikan. saya ambil yang tersurat dalam Alkitab, saya terima semua penafsiran subjektif untuk memperkaya wawasan teologis.

> Teks lagu yang saya pernah baca, saya tidak ingat persis, berbunyi demikian, “Yo, mari semua, daripada bengong, pusing-pusing, lebih baik nyanyi buat Tuhan!”

Saya beri info bagi Sdri. Iskandar, judul: "Bareng-bareng"
karya Franky Sihombing. Lagu tersebut diciptakan untuk memuliakan Tuhan.

Memang bahasa, sebagai bagian dari gaya komunikasi yang dipakai, mencerminkan golongan "orang-orang berdosa: pelacur dan para pemungut cukai", bukan mewakili golongan "ahli-ahli taurat dan orang-orang Farisi".