20 September 2007

Roma 3:9 : DOSA : TIDAK ADA ALASAN UNTUK BERMEGAH

Seri Eksposisi Surat Roma :
Kasih dan Keadilan Allah-2


Dosa : Tidak Ada Alasan Untuk Bermegah

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 3:9.

Setelah Paulus memaparkan tentang realita dosa, maka ia melanjutkan di ayat 9 sebuah pertanyaan awal, “Jadi bagaimana?” Pertanyaan ini merupakan pertanyaan lanjutan dari ayat-ayat sebelumnya dan pertanyaan ini merupakan petunjuk selanjutnya tentang akibat dari realita dosa. Setiap dosa pasti berdampak buruk. Kita melihat bahwa ketika orang-orang Yahudi meskipun sudah mengenal Taurat sekalipun, mereka tidak menaatinya, bahkan melanggarnya. Saat mereka melanggar Taurat, itulah permulaan dosa. Dosa bukan sekedar membunuh, mencuri, dll, itu adalah akibat dosa (akan dibahas pada Roma 3:10-18). Dosa sesungguhnya dapat berarti ketidaktaatan terhadap perintah dan kedaulatan Allah (atau memberontak terhadap Allah). Esensi dosa ini lah yang nantinya mengakibatkan tindakan-tindakan seperti pembunuhan, pencurian, dll. Yang perlu kita perhatikan adalah esensi dosa dan bukan hanya akibat dosa, karena dari esensi timbullah akibat.

Kalau dosa adalah pemberontakan terhadap Allah, maka perlukah kita bermegah di dalamnya ? Paulus mempertanyakan hal ini, “Adakah kita mempunyai kelebihan dari pada orang lain?” Atau terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) mengartikannya, “apakah kedudukan kita sebagai orang Yahudi lebih baik daripada kedudukan bangsa lain?” Saya lebih memilih terjemahan BIS karena terjemahan ini lebih tepat. Dalam tradisi Israel, mereka selalu menganggap diri lebih hebat, lebih beretika, dan lebih daripada bangsa-bangsa kafir lainnya karena orang-orang Yahudi memiliki Taurat. Dengan kata lain, di dalam benak mereka, meskipun mereka berdosa, mereka tetap lebih baik daripada bangsa-bangsa lain karena mereka memiliki Taurat. Benarkah demikian ? Bagaimana dengan kita ? Kita pun juga sebagai orang Kristen setelah mengerti doktrin bahwa sekali diselamatkan selamanya diselamatkan, kita semakin enggan berbuat baik, karena kita berpikir bahwa meskipun kita berbuat dosa sejahat apapun, keselamatan kita tidak mungkin hilang. Sehingga tidak heran, di zaman gereja-gereja Lutheran, banyak moral orang Kristen rusak dan ditertawakan oleh gereja Katolik Roma. Secara kedudukan, orang Kristen memiliki wahyu Allah lebih tinggi agama apapun karena kita telah menerima wahyu khusus Allah di dalam Kristus dan Alkitab, sedangkan agama lainnya hanya merupakan respon terhadap wahyu umum Allah yang terbatas. Tetapi benarkah kita dapat menyombongkan diri akan hal ini ? Paulus menjawab hal ini, “Sama sekali tidak.” (BIS mengartikannya, “Sekali-kali tidak!”). Penggunaan tanda seru di dalam terjemahan BIS menunjukkan suatu penegasan yang penting yang mengajar orang-orang percaya untuk tidak memegahkan diri meskipun sudah memiliki wahyu Allah. Manusia yang berdosa seringkali masih tidak menyadari dirinya berdosa, tetapi berusaha menutupi dosa-dosanya dengan beribu dalih yang malahan membuat dirinya makin berdosa. Contohnya, banyak orang yang belum percaya di dalam Kristus masih menganggap diri hebat, baik, bahkan berani membanggakan diri kalau dia tidak ada maka seluruh dunia akan kacau (seperti dia adalah “Tuhan”). Ini adalah apa yang paman saya dari luar pulau lakukan dan katakan. Dia menganggap diri “juruselamat” bagi orang lain, suka “menolong”, padahal menurut saya, yang paling perlu ditolong adalah dia sendiri, karena kebodohannya sendiri. Untuk hal ini, Paulus dengan tegas mengajarkan bahwa kalau kita berdosa, janganlah bermegah atas dosa kita, karena itu hal yang tidak layak dilakukan. Sama seperti orang yang sudah berlumuran lumpur tetapi tetap mengaku bahwa tubuh dan bajunya tetap bersih, bukankah itu suatu tindakan konyol dan absurd (tidak masuk akal) ? Itulah manusia berdosa khususnya di abad postmodern yang gila ini. Tidak heran, di abad yang gila ini, muncullah Gerakan Zaman Baru dan psikologi sebagai akibat dari filsafat humanisme yang makin meniadakan realita keberdosaan manusia. Lalu, mereka menganggap diri mereka “allah” yang dapat menyelamatkan diri sendiri dan orang lain (termasuk paman saya yang saya barusan ceritakan di atas). Bagi Allah, semakin manusia menganggap diri tidak berdosa (atau mengatakan bahwa dosa itu hanya ilusi atau suatu kesalahan biasa atau sisi lain dari kebaikan di dalam konsep Yin-Yang), maka mereka justru semakin berdosa. Di dalam Matius 23, Tuhan Yesus menegur orang-orang Farisi sebagai orang-orang munafik, karena Ia mengetahui dan mengenal isi hati setiap orang, sehingga meskipun kita kelihatan baik di luar, tetapi Allah melihat hati kita dan ternyata hati kita busuk adanya. Ketika memilih Daud sebagai raja Israel menggantikan Saul, Allah tidak melihat paras wajah, tetapi hati, sehingga Ia tepat memilih Daud meskipun Daud sempat berdosa. Mengapa Allah tidak memilih hal-hal yang tampak baik di luar ? Karena penampilan luar bisa menipu, tetapi hati tidak bisa menipu dan itulah yang diinginkan Allah. Seperti paman saya yang saya paparkan di atas, sehari-hari paman saya (seorang free-thinker, pluralis, relativis, humanis dan penganut mistisisme) selalu “menolong” orang yang “diganggu” setan, kelihatannya paman saya “baik” karena “menolong”, tetapi coba selidiki dan perhatikanlah dengan seksama motivasi dan perkataannya, itu semua keluar dari hati yang busuk. Mengapa demikian ? Karena ia melakukannya : pertama, jelas bukan dari Tuhan, karena ia berguru kepada dukun yang katanya memiliki ilmu “putih”. Kedua, dengan berusaha memegahkan diri sebagai orang yang paling hebat, pintar, bijaksana, dan bahkan semua orang jahat yang bertemu dengannya menjadi “takut”. Sungguh aneh, bukan ? Katanya dia menyembah “Tuhan”, tetapi dari perkataan dan motivasinya, yang selalu ditinggikan bukan Allah tetapi dirinya sendiri. Pernah ada suatu peristiwa ketika kerabat keluarga ada yang meninggal, paman saya langsung mengatakan bahwa kalau dirinya ada di sana sebelum meninggal, maka orang itu tidak perlu meninggal. Dalam hati dan pikiran saya, saya bertanya bahwa dia jelas bukan Tuhan, tetapi dia pura-pura dan merasa diri sebagai “Tuhan”, tetapi sambil mengaku dengan mulut bibirnya bahwa dia menyembah “Tuhan”. Bukankah ini suatu kontradiksi yang aneh dan gila ?! Seorang yang bermegah karena telah berbuat baik padahal dia masih berdosa, pasti mengalami kekacauan di dalam dirinya sendiri. Pdt. Dr. Stephen Tong menyebutnya self-defeating contradiction (kontradiksi yang menyerang diri sendiri). Mengapa bisa demikian ?

Di dalam perkataan berikutnya, Paulus memaparkan penyebabnya, “Sebab di atas telah kita tuduh baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, bahwa mereka semua ada di bawah kuasa dosa,” Manusia yang berdosa tetapi masih tetap bermegah karena telah berbuat baik pasti tidak menemukan jalan keluar dari dosanya, tetapi malah berkanjang di dalam dosa yang semakin hari semakin mengikat dirinya secara tidak sadar. Itulah yang Paulus paparkan bahwa tidak peduli siapapun, baik orang Yahudi (yang religius), Yunani (dianggap “kafir”), dan orang dari bangsa, agama, jenis kelamin, ras, dan kedudukan sosial manapun semuanya sudah berdosa atau berada di bawah kuasa dosa (BIS : “semuanya sudah dikuasai oleh dosa.”). Inilah sifat dosa pertama yaitu universal, yaitu tidak memandang ras, agama, bahasa, kepercayaan, bangsa, status sosial. King James Version (KJV) dan English Standard Version (ESV) menerjemahkannya, “under sin” (=di bawah dosa), sedangkan International Standard Version (ISV) menerjemahkannya, “under the power of sin.” (=di bawah kuasa dosa). Dalam bahasa Yunani, kata “di bawah” menunjuk kepada suatu posisi/letak yang benar-benar di bawah sesuatu. Jadi, ketika Paulus mengajarkan bahwa semua manusia di bawah kuasa dosa, berarti dosa telah memerintah di atas diri kita dan kita sungguh-sungguh secara status dan posisi di bawah dosa, sehingga kita tidak bisa tidak berdosa (Latin : non-posse non-peccare). Di dalam status berdosa, manusia dikatakan tidak bisa tidak berdosa, karena kecenderungan hati manusia adalah murni jahat, meskipun sisi kebaikannya masih ada sedikit. Meskipun masih ada sisi sedikit kebaikan, kebaikan itu sendiri pun tidak murni 100% karena telah dicemari oleh dosa. Dosa mengikat manusia, inilah sifat dosa kedua, sehingga manusia dengan kekuatan sendiri tidak bisa melepaskan diri darinya. Adalah suatu absurditas jika mengatakan bahwa ketika manusia berbuat baik manusia bisa diselamatkan dan dibebaskan dari dosa. Bukankah suatu kekonyolan ketika manusia yang sendirinya berdosa bisa menolong dirinya sendiri dari dosa ? Itu seperti orang yang sudah tenggelam tetapi masih dapat menolong dirinya sehingga dirinya selamat dan tidak jadi tenggelam. Seorang yang tenggelam adalah seorang yang tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya menunggu uluran tangan orang lain yang menolongnya. Orang yang tenggelam itulah semua manusia yang berdosa yang hanya menunggu uluran tangan pribadi lain yang menolong kita. Kita tak mampu menolong diri kita sendiri, karena ketika kita mencoba menolong diri kita sendiri dengan kekuatan kita sendiri, berarti kita sedang membohongi diri kita sendiri yang sebenarnya adalah makhluk berdosa. Lalu, kata “dosa” yang mengikat diri kita dalam bahasa Yunani hamartia berarti tidak tepat sasaran. Artinya, seperti sebuah panah yang ditembakkan oleh pemanah yang tidak mengenai sasaran panah yang tepat, begitu juga dengan dosa yang tidak tepat mengenai sasaran yang Allah telah tetapkan sejak semula. Dosa membuat kita selalu ingin menyimpang dari jalan dan rencana Allah. Ketika Allah mengatakan A, kita seringkali mengatakan B bahkan menghina A. Inilah sifat dosa ketiga, yaitu menyimpang dari kebenaran. Manusia ketika diberitahu sesuatu yang benar pasti memberontak di titik pertama, baru setelah beberapa saat, orang tersebut kalau mau rendah hati mengakui akan berbalik dan menyesal karena telah memberontak di titik pertama. Itu adalah tindakan wajar, penyesalan selalu terjadi belakangan. Misalnya, ketika manusia (sebut saja X) diberitahu jalan satu-satunya (jalan F) menuju bangunan A, si X akan memberontak, karena menurut X, orang yang menunjukkan jalan itu sok tahu, sok hebat, sombong, dll, lalu si X mulai mencari alternatif jalan lain (misalnya, jalan G, H, dll), tetapi akibatnya X mengalami jalan buntu, lalu marah-marah dan akhirnya “terpaksa” mengikuti saran orang tersebut yang menggunakan jalan F menuju ke A. Itulah yang disebut menyimpang. Begitu pulalah manusia berdosa ditunjukkan jalan untuk mengenal Allah di dalam Kristus tidak juga sadar dan bertobat, malahan menghina si penunjuk jalan tersebut sebagai orang yang ekstrim, fanatik, sombong, dll. Apakah itu membuktikan bahwa orang yang menolak diberitahu yang benar itu lebih pintar ? TIDAK. Justru, itu membuktikan bahwa orang yang menolak tersebut adalah orang yang bodoh dan akibatnya dia akan tersesat sendiri di dalam kebodohannya. Maafkan, saya harus mengatakan suatu kalimat yang sangat keras bahwa banyak orang yang sebenarnya bodoh tetapi menganggap diri pandai (termasuk banyak guru/pengajar dan dosen-dosen yang bergelar akademis).

Setelah kita merenungkan bagian ini tentang tiga sifat dosa manusia secara esensial, maukah kita atas dorongan Roh Kudus di dalam hati kita dengan rendah hati mengakui semua dosa-dosa kita dengan tiga sifatnya, yaitu universal, menguasai dan menyeleweng dari kebenaran ini ? Maukah kita selanjutnya bertobat dan kembali kepada Kristus, sebagai Pribadi Allah yang menebus dosa-dosa kita ? Amin.

Soli DEO Gloria. Solus Christus.

No comments: