14 September 2007

Roma 3:1-8 : HUKUM ALLAH DAN KESETIAAN ALLAH

Seri Eksposisi Surat Roma :
Kasih dan Keadilan Allah-1


Hukum Allah dan Kesetiaan Allah

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 3:1-8.

Mulai pasal 3, seolah-olah Paulus mengganti topik pembahasan, tetapi jika diteliti, Paulus sebenarnya melanjutkan pengajarannya pada pasal 2. Setelah pada pasal 2 Paulus menjelaskan kemunafikan-kemunafikan orang-orang Yahudi, maka pada pasal 3 secara keseluruhan ia hendak menjelaskan tentang kedaulatan, kesetiaan dan kasih-Nya yang sesungguhnya kepada manusia.

Pada ayat 1, Paulus menjelaskan, “Jika demikian, apakah kelebihan orang Yahudi dan apakah gunanya sunat?” Perlu diketahui bahwa orang-orang Yahudi seringkali menyombongkan diri sebagai umat Allah lalu menghina mereka yang di luar Yahudi sebagai bangsa kafir, tidak berhukum, dll. Apakah dengan kesombongan itu membuktikan diri mereka lebih hebat dan patut dicontoh ? Tidak. Mereka pun sama-sama dihukum oleh Allah jika mereka berbuat dosa. Lalu, kalau semua orang dihukum oleh Allah, termasuk orang-orang Yahudi juga, lalu mungkin saja orang-orang Yahudi bertanya apakah kelebihan menjadi orang Yahudi. Kemudian, apa gunanya menjalankan sunat kalau toh akhirnya manusia berdosa dihukum Allah ? Pertanyaan ini juga menjadi refleksi bagi kita. Kita seringkali tidak mau menaati hukum dengan pengertian dan kasih, tetapi dengan keterpaksaan, seperti orang-orang Yahudi yang tidak mengerti esensi hukum Taurat tetapi berani melakukannya bahkan membakukannya, misalnya ketentuan Sabat, sunat, dll. Bagaimanakah seharusnya ? Apakah kita menjadi anti hukum ? TIDAK.

Pada ayat 2, Paulus langsung mengajarkan bahwa sunat (dan ketentuan-ketentuan lain di dalam Taurat) itu berguna bahkan Paulus berkata banyak kegunaannya. Salah satu faedahnya adalah mengingatkan orang-orang Yahudi bahwa “kepada merekalah dipercayakan firman Allah.” Allah berani mempercayakan diri dan firman-Nya kepada mereka itu semua bergantung pada kedaulatan Allah. Ketika Allah memilih Israel, Ia tidak memilih mereka berdasarkan perbuatan baik mereka, tetapi mutlak karena kedaulatan Allah, termasuk mengizinkan mereka berdosa untuk nantinya dibereskan dengan cara Allah sendiri. Dari Perjanjian Lama, kita membaca realita kesetiaan Allah kepada umat-Nya secara bangsa maupun pribadi. Abraham dipanggil oleh Allah bukan karena ia orang suci, tetapi justru karena ia tinggal di lingkungan penyembah berhala dan Allah berdaulat memilih-Nya, maka Abraham dipanggil oleh Allah untuk keluar dari tanah kelahirannya menuju tanah yang Tuhan janjikan. Ketika keluar dari Mesir, bangsa Israel sempat bersungut-sungut, tetapi Ia tetap setia, memberikan Sepuluh Perintah Allah melalui nabi-Nya, Musa. Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen ? Sebagai orang Kristen, kita memiliki status lebih lengkap dari orang-orang Yahudi yaitu memiliki finalitas Alkitab sebagai kesempurnaan wahyu Allah yang tak mungkin bersalah. Kepada kita khususnya umat pilihan Allah sejati, kita dipercayakan kepenuhan Firman Allah yang berotoritas (kesetiaan Allah selalu berkaitan dengan tanda perjanjian/covenant Allah atas umat-Nya). Ini membuktikan kesetiaan Allah kepada umat pilihan-Nya. Ini juga membuktikan bahwa kita yang menerima penyataan Allah ini sungguh rendah dan tidak layak adanya karena kita yang berdosa dipercayakan firman Allah yang Mahakudus, sehingga penerimaan kita seharusnya dipenuhi dengan sikap rendah hati dan bersyukur serta memegang erat janji dan firman-Nya ini dengan ketekunan kita.

Lalu, kalau Allah setia, apakah respon manusia ? Di dalam kondisi keberdosaannya, manusia bukan saja tidak setia, malahan mempermainkan kesetiaan Allah. Hal ini tampak mulai ayat 3 sampai dengan 8.

Di ayat 3, Paulus langsung menyebut di antara umat-Nya, ada yang tidak setia. Realita ini sangat menyakitkan. Seorang (X) yang sudah dipercayakan sesuatu yang paling berharga sebagai wujud kesetiaan dari orang lain (Y) kepada dirinya (X), malahan orang ini (X) menyalahgunakan kesetiaan ini untuk kepentingan diri sendiri. Di dalam Perjanjian Lama, kita menjumpai realita yang menyakitkan ini. Bangsa Israel yang telah dituntun oleh Allah melalui Musa keluar dari Mesir tidak bersyukur, malahan bersungut-sungut, bahkan rela menggantikan Allah dengan patung lembu emas sambil menunggu Musa turun dari Gunung Sinai. Pada zaman hakim-hakim, bangsa Israel terus berubah setia. Ketika ada satu hakim yang setia kepada Allah, maka seluruh bangsa Israel setia kepada Allah, lalu setelah hakim tersebut meninggal, mereka kembali hidup tidak setia. Di dalam zaman raja-raja, hal ini juga berlaku. Di dalam keKristenan pun, seringkali kita menjumpai banyak orang Kristen yang tidak setia kepada Allah. Mereka hanya menampilkan sisi-sisi religius dengan rajin ke gereja, membaca Alkitab, dll, tetapi di dalam kehidupan sehari-harinya tidak ada Allah yang bertahta sebagai Raja. Itu bukti bahwa mereka tidak setia kepada Allah. Orang yang tidak setia kepada Allah sebenarnya hendak membuktikan bahwa pertama, mereka tidak percaya akan keberadaan Allah yang Mahakuasa dan kekal, karena kalau mereka percaya ketidakterbatasan, keMahakuasaan dan kekekalan Allah, maka mereka pasti tidak akan berubah setia. Kedua, mereka tidak mengenal Allah. Seorang yang mengenal Allah secara pribadi dan mendalam, pastilah mereka setia. Pengenalan yang baik setelah beriman menghasilkan kesetiaan, seperti seorang yang sudah mengenal pasangannya bertahun-tahun pasti setia kepada pasangannya karena orang itu tahu apa yang terbaik bagi pasangannya (bukan bagi dirinya sendiri). Ketiga, mereka sebenarnya juga tidak mengasihi Allah. Seorang yang mengasihi Allah pasti setia kepada Allah. Kasih tanpa kesetiaan adalah sia-sia adanya. Apakah ada sepasang kekasih yang saling mengasihi tetapi salah satu pasangannya menyeleweng dari salah satu dari pasangan orang lain masih dianggap setia ? TIDAK, bukan? Seorang yang mengasihi pasangannya pasti setia kepada pasangannya. Jadi, orang Kristen yang setia kepada Allah adalah mereka yang terlebih dahulu mengasihi-Nya setelah dikasihi oleh Allah.

Setelah kita mengetahui ketidaksetiaan manusia, lalu Paulus langsung bertanya kembali, “dapatkah ketidaksetiaan itu membatalkan kesetiaan Allah?” Kata “kesetiaan” ini di dalam Alkitab King James Version diterjemahkan faith atau iman (Yunani : pistis ; artinya : iman/kepercayaan/keyakinan/kesetiaan), lalu New International Version (NIV) dan New Revised Standard Version (NRSV) menerjemahkan faithfulness. Seorang yang tidak setia atau dengan kata lain juga dapat disebut tidak beriman, apakah ketidaksetiaan ini membatalkan kesetiaan Allah atau ketidaksetiaan manusia membuat Allah juga tidak setia ? Pertanyaan ini adalah pertanyaan krusial yang penting. “Theologia” Arminian yang juga merupakan “teladan” bagi semua agama dunia mengajarkan bahwa jika kita setia, maka Allah itu setia. Ketika kita tidak mau membuka hati bagi Roh Kudus, maka Ia pun tidak masuk. Jadi, semua tergantung jasa baik manusia. Ini lah pengaruh humanisme yang meracuni dunia dan bahkan keKristenan. Semua karena kehebatan diri manusia. Kalau kita tidak setia, maka tentu saja Allah tidak setia, karena kesetiaan kita menentukan kesetiaan Allah kepada kita. Dengan kata lain Allah dijadikan “pembantu” kita yang dapat disuruh-suruh untuk memenuhi keinginan kita. Bukankah itu yang diajarkan oleh banyak penganut Karismatik/Pentakosta yang dipengaruhi oleh humanisme ?

Benarkah konsep bahwa apapun yang kita lakukan sangat menentukan tindakan Allah (termasuk di dalam hal kesetiaan) ? Pada ayat 4, Paulus menjawab, “Tentu tidak!” (Bahasa Indonesia Sehari-hari). Terjemahan BIS ini lebih sesuai dengan pengertian di dalam terjemahan International Standard Version yang menerjemahkan, “Of course not !” Apa yang Paulus nyatakan ini merupakan suatu ketegasan bahwa ketidaksetiaan manusia tidak mempengaruhi kesetiaan Allah. Pernyataan ini lalu dikontraskan Paulus dengan mengatakan, “Sebaliknya: Allah adalah benar, dan semua manusia pembohong” Konsep ini sangat penting dalam membedakan dua pribadi beserta atribut-Nya. Pertama, Allah itu adalah benar. Kata “benar” di dalam bahasa Yunani menggunakan kata alēthēs yang berarti kebenaran sejati atau kebenaran yang benar-benar benar (bandingkan Yohanes 14:6). Kedua, kita sebagai manusia dikatakan pembohong atau liar. Kata “pembohong” di dalam bahasa Yunani pseustēs berasal dari kata pseudomai yang berarti berusaha menipu dengan kesalahan atau bertindak sesuatu yang tidak benar. Kedua kontras yang sangat jauh ini seharusnya menyadarkan kita bahwa kita jangan seenaknya memperlakukan Allah sebagai mainan apalagi mengajarkan bahwa apapun yang kita lakukan mempengaruhi tindakan Allah. Itu ajaran sesat ! Apa signifikansi dari pernyataan bahwa Allah itu benar dan manusia itu pembohong atau penipu ? Pernyataan ini hendak mengajarkan prinsip bahwa meskipun manusia pilihan-Nya seringkali tidak setia, Allah tetap setia kepada mereka, mengapa ? Karena sebagaimana telah saya kemukakan di atas, kesetiaan-Nya berkaitan erat dengan kovenan-Nya. Allah yang benar tak mungkin melanggar kovenan dan kesetiaan-Nya sendiri. Kenyataan ini mengajarkan bahwa kita harus tetap senantiasa bersyukur akan kesetiaan Allah dan juga mengajar kita untuk semakin setia kepada-Nya di tengah maraknya ketidaksetiaan di dunia ini.

Kenyataan ini didukung oleh pengajaran Paulus di akhir ayat 4 dengan mengutip perkataan dari Daud di dalam Mazmur 51:6, “Supaya Engkau ternyata benar dalam segala firman-Mu, dan menang, jika Engkau dihakimi.” yang secara keseluruhan berbunyi, “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat, supaya ternyata Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu.” Kita dapat belajar satu aspek di sini, yaitu kesetiaan Allah menegur ketidaksetiaan manusia. Di dalam Mazmur 51, Daud mengungkapkan penyesalan dan pertobatannya setelah Tuhan melalui Nabi Natan menegur dosa perzinahannya dengan Batsyeba. Lalu, di dalam ayat 6, ia dengan rendah hati mengakui dua hal, yaitu dosa-dosanya dilakukan sebagai pelanggaran terhadap hukum Allah yang suci dan juga berlakunya keadilan Allah di dalam segala keputusan-Nya dan bersih di dalam penghukuman-Nya. Di dalam Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), setelah Daud mengakui keberdosaannya di hadapan Allah, pada ayat 6 ini, ia berkata, “Maka pantaslah Engkau menghukum aku, adillah keputusan-Mu.” Daud bukan hanya sadar dan mengakui tentang realita dosanya, ia bertobat dengan rendah hati lalu bersedia dihukum Allah, mengapa ? Karena ia tahu bahwa Allah itu Mahaadil. Di dalam kesetiaan-Nya ada unsur keadilan-Nya bagi mereka yang tidak mau taat. Ketika kita mulai tidak setia, pandanglah pada kesetiaan Allah dan belajarlah, maka kita akan mendapati teladan yang terbaik yang bisa kita ikuti dan pelajari sehingga kita akhirnya dapat memuliakan Allah melalui kesetiaan kita.

Hal inilah yang ditunjukkan oleh Paulus di dalam ayat 5, “Tetapi jika ketidakbenaran kita menunjukkan kebenaran Allah, apakah yang akan kita katakan?” bahwa kesetiaan-Nya dan keadilan-Nya menunjukkan adanya kedaulatan Allah di atas kesetiaan dan keadilan (atau kebenaran) manusia yang terbatas. Kata “kebenaran” seharusnya lebih tepat diterjemahkan keadilan kebenaran (Inggris : righteousness ; Yunani : dikaiosunē). Kalau Allah itu adil dan benar jauh melampaui keadilan dan kebenaran manusia, maka Paulus mengatakan, “Tidak adilkah Allah--aku berkata sebagai manusia--jika Ia menampakkan murka-Nya?” Seharusnya semua manusia harus mati dihukum akibat dosa, tetapi di antara manusia yang berdosa ini, Allah tetap setia berjanji memilih beberapa dari mereka untuk diselamatkan dan secara otomatis membiarkan sisanya untuk binasa. Apakah dengan membiarkan orang-orang berdosa dihukum membuktikan bahwa Allah itu tidak adil ? Itulah yang seringkali manusia tanyakan. Manusia postmodern selalu menginginkan dosa tidak perlu dihukum kalau perlu ditonjolkan. Mereka ingin hidup berdamai dengan siapapun bahkan dengan dosa sekalipun, sehingga dosa apapun dibiarkan hidup tanpa ada usaha untuk mengikis bahkan mengurangi dosa. Konsep keadilan Allah tidak lagi disenangi, sebaiknya konsep “kasih” Allah yang merangkul semua bahkan semua orang tanpa memandang agama dan keyakinan itulah yang didengungkan di abad postmodern ini melalui DIALOG ANTAR AGAMA !

Benarkah pendapat demikian ? Paulus di ayat 6 langsung mengatakan, “Sekali-kali tidak!” Mengapa ? Karena Paulus telah mengajarkan prinsip bahwa Allah itu Kebenaran sejati yang tak mungkin salah sedangkan manusia itu serba terbatas, suka menipu, dll. Kalau Allah itu Kebenaran yang sejati maka apapun yang ditetapkan-Nya dari semula pasti ketetapan-Nya yang indah, mulia, suci dan adil serta kasih. Ketetapan-Nya ini pun adil karena Ia yang Mahaadil pasti dapat menghakimi dunia. Kalau Ia tidak Mahaadil di dalam menetapkan segala sesuatu, mana mungkin Ia dapat menghakimi dunia ? Kata “Andaikata” di dalam ayat 6 ini hendak menunjukkan suatu ketidakmungkinan yang tidak pernah terjadi, karena Allah tidak mungkin tidak Mahaadil. Kenyataan ini juga mengajar kita agar senantiasa sadar dan introspeksi diri akan kelemahan dan keberdosaan kita serta kita harus siap menerima hukuman Allah sebagai tindakan-Nya yang adil sekaligus penuh kasih kepada kita ketika kita mulai berbuat dosa.

Tetapi seringkali konsep ini tidak disukai oleh manusia. Hal ini dipaparkan Paulus yang merupakan tuduhan dari orang-orang lain kepadanya pada ayat 7, “Tetapi kalau karena perbuatan yang tidak benar, apa yang benar tentang Allah semakin menonjol sehingga Ia dipuji, mengapa orang yang berbuat jahat itu masih disalahkan sebagai orang berdosa?” (Bahasa Indonesia Sehari-hari) Sungguh aneh manusia itu. Manusia sudah berdosa tetapi tetap mengaku diri tidak berdosa, bahkan berani membandingkan dengan Allah. Inilah realita dosa manusia. Manusia yang berdosa tidak sadar bahwa dirinya sedang berdosa, tetapi berani membanggakan diri sudah berbuat baik agar terlepas dari dosa (itulah dosa yang lebih besar dan berat) ! Bukan hanya itu saja, melalui ayat ini, kita bisa belajar ciri manusia berdosa yang kedua yaitu manusia suka menganggap remeh dosa, sehingga kalau Allah itu Mahakasih dan benar, maka Ia pasti memaafkan dosa saya (parafrase dari sebuah tafsiran mengenai ayat ini). Bagaimana dengan kita ? Apakah sebagai orang Kristen, kita masih menganggap remeh dosa-dosa yang telah kita lakukan ? Seharusnya tidaklah demikian, karena semakin kita hidup serupa dengan Kristus, semakin kita membenci dosa sekecil apapun.

Hal inilah yang diajarkan Paulus di dalam ayat 8 dengan mengatakan, “Dan mengapa kita tidak boleh mengatakan, "Baiklah kita berbuat jahat supaya timbul kebaikan?" Memang ada orang-orang yang menghina saya dengan mengatakan bahwa saya sudah berkata begitu. Orang-orang semacam itu sewajarnya dihukum oleh Allah.” (Bahasa Indonesia Sehari-hari). Seorang yang meremehkan dosa dengan alasan bahwa nantinya akan ada kebaikan atau dari dosa akan timbul kebaikan (bandingkan dengan Roma 3:1-4), maka orang itu harus dihukum oleh Allah. Meskipun Ia setia, Ia juga Mahaadil yang menghukum manusia yang bermain-main dengan-Nya apalagi menyalahgunakan anugerah Allah untuk melegalisir perbuatan dosa mereka. Anugerah Allah harus disertai pertanggungjawaban manusia sebagai respon dengan melakukan perbuatan baik yang Allah kehendaki untuk memuliakan-Nya. Itulah respon kesetiaan manusia kepada Allah yang harus kita kerjakan sebagai anak-anak-Nya yang setia.

Setelah merenungkan perikop ini, sadarkah kita bahwa kita seringkali berlaku tidak setia kepada-Nya ? Lalu, maukah kita kembali kepada-Nya dan tidak lagi mempermainkan anugerah-Nya, realita dosa dan pertobatan ? Ia setia dan adil benar (righteous), dan inilah yang seharusnya menyadarkan kita untuk berespon dengan setia kepada-Nya dan menjalankan keadilan kebenaran Allah di dalam hidup kita.

No comments: