25 August 2007

Roma 2:21-24 : STANDAR PENGHAKIMAN ALLAH-4 : Hukum Allah Vs Hukum Manusia-2 (Denny Teguh Sutandio)

Seri Eksposisi Surat Roma :
Realita Murka Allah-13


Standar Penghakiman Allah-4 :
Hukum Allah Vs Hukum Manusia-2

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 2:21-24.

Setelah membahas mengenai standar hukum yang orang-orang Yahudi pakai sebagai tameng untuk mengukur “superioritas” mereka, maka selanjutnya sebaliknya Allah menetapkan hukum yang sebenarnya bagi orang-orang Yahudi melalui pemaparan Paulus. Di dalam keempat ayat ini, Paulus membuka kedok kemunafikan orang-orang Yahudi yang munafik.

Ayat 21, Paulus menggunakan kata penghubung “Jadi” atau terjemahan King James Version : therefore (oleh karena itu), yang berarti ayat ini merupakan kelanjutan dan akibat dari “superioritas” hukum yang ditetapkan oleh orang-orang Yahudi yaitu kemunafikan. Di dalam ayat ini, Paulus mengatakan, “Jadi, bagaimanakah engkau yang mengajar orang lain, tidakkah engkau mengajar dirimu sendiri?” Di sini, Paulus dengan memakai otoritas hukum Allah menghakimi orang-orang Yahudi yang memutarbalikkan hukum Allah seenaknya sendiri dan menggantinya dengan hukum buatan mereka. Di dalam ayat-ayat sebelumnya, Paulus telah memaparkan “superioritas” orang-orang Yahudi yang merasa diri hebat, dapat mengajar orang lain, dll, tetapi sebenarnya mereka adalah orang-orang munafik. Mereka hanya pintar mengerti hukum Allah tanpa mengerti esensinya dan mempraktikannya. Oleh karena itu, di dalam ayat 21a ini, Paulus langsung mengaitkan antara mengajar orang lain dengan mengajar diri. Bagi Paulus, cukup mudah ketika kita mengajar orang lain, tetapi ketika dirinya mengajar dirinya sendiri, itu yang susah. Paulus adalah rasul Kristus yang patut kita teladani. Di dalam buku tentang refleksi atas Surat 1 Korintus (Ajarlah Kami Bertumbuh), Pdt. Billy Kristanto mengajarkan tentang karakter Paulus yang baik di dalam pelayanan, yaitu Paulus bukan hanya pintar berlogika dan mengajar, tetapi ia juga mengajar dirinya sendiri lebih keras. Artinya, Paulus lebih keras mengajar dirinya untuk lebih taat kepada Firman Allah daripada mengajar orang lain. Itulah orang yang berbijaksana. Di dalam pelayanan dan pertumbuhan rohani kita, seberapa berani kah kita mau dan mampu mengajar orang lain dengan terlebih dahulu mengajar diri kita sendiri. Ketika kita sudah mengajar diri kita sendiri untuk taat kepada Firman Allah, itu merupakan bukti kita sudah dewasa rohani. Setelah kita sudah mengajar diri sendiri dengan lebih keras untuk taat kepada Firman Allah, ketika kita berani mengajar orang lain, maka Pdt. Billy Kristanto mengatakan bahwa kita akan memiliki kuasa untuk itu. Ketika kita mengajar orang lain tentang sesuatu hal, marilah kita juga berkomitmen untuk menaati dan mendisiplinkan diri dalam menjalankan apa yang telah kita ajarkan kepada orang lain. Di sini saya memakai istilah progressive teaching (pengajaran yang terus-menerus) berhubungan dengan progressive spiritual growth in Christ (pertumbuhan rohani yang terus-menerus di dalam Kristus). Hal ini berlaku bagi diri kita khususnya dan bagi orang lain yang kita ajar. Rasul Yakobus juga mengingatkan kita bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati (Yakobus 2:26). Iman dan pengertian yang sejati akan Firman menghasilkan suatu tindakan yang memuliakan Allah. Tetapi sayangnya, banyak orang “Kristen” yang “no action, talk only”. Hal ini tidak berarti perbuatan menjadi penentu utama keberimanan seseorang ! Perbuatan bukan menjadi titik utama penentu iman seseorang, tetapi yang menjadi titik utama penentu iman seseorang adalah iman itu sendiri yang tidak berkontradiksi dengan dirinya dan tidak melawan Allah. Selagi Tuhan memberikan kesempatan kepada kita untuk melakukan perintah-Nya, di saat itu pulalah kita harus melakukannya bukan dengan terpaksa, tetapi dengan cinta kasih dan ketulusan hati sebagai anak-anak Tuhan yang telah ditebus oleh Kristus.

Lalu, apa yang menjadi ciri kemunafikan orang-orang Yahudi di mana mereka pandai mengajar orang lain tetapi tidak bisa mengajar diri sendiri ? Dari ayat 21b s/d 23, Paulus memaparkan empat ciri kemunafikan orang-orang Yahudi. Mari kita melihatnya satu per satu.
Kemunafikan pertama, Paulus mengatakan, “Engkau yang mengajar: "Jangan mencuri," mengapa engkau sendiri mencuri?” (ayat 21b) Terjemahan International Standard Version (ISV) dan English Standard Version (ESV) menerjemahkan “mengajar : “Jangan mencuri,”” dengan, “preach against stealing” (“berkhotbah melawan pencurian”). Ini berarti para pemimpin Yudaisme berkhotbah di atas mimbar sinagoge atau pertemuan ibadah lainnya dengan pernyataan-pernyataan yang melawan tindakan pencurian, tetapi herannya mereka sendiri tidak melakukannya alias mereka sendiri mencuri. Apa yang telah dilakukan oleh mereka ? Di dalam khotbah-Nya, Tuhan Yesus menegur dan menjelaskan dosa pencurian yang dilakukan oleh para pemimpin Yahudi, “(Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu menelan rumah janda-janda sedang kamu mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Sebab itu kamu pasti akan menerima hukuman yang lebih berat.)” (Matius 23:14). Mereka sebenarnya suka mencuri dengan merampas rumah para janda (terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari) tetapi anehnya agar kejahatan mereka tidak terungkap, mereka menipu dengan doa yang panjang-panjang. Dosa mereka dua kali lebih jahat dari orang-orang yang mereka sebut sebagai kafir. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita sebagai orang Kristen juga bertindak tidak jauh berbeda dengan orang-orang Yahudi yang suka menyelimuti kejahatan dengan jubah agama ??!! Di Indonesia, orang-orang non-Kristen sudah membuktikan kemunafikan yang serupa dengan orang-orang Yahudi. Demi uang, para pejabat di Departemen Agama rela berkorupsi dan mencari keuntungan dengan program ibadah haji. Di dalam keKristenan, karena menegakkan “theologia” kemakmuran, banyak pendeta/hamba “Tuhan” gereja Karismatik/Pentakosta yang rela mencuri uang jemaatnya dengan dalih memberikan persembahan untuk Tuhan (padahal untuk memperkaya diri sang pemimpin “gereja” tersebut). Alhasil, yang menjadi kaya adalah “pendeta”/pemimpin “gereja”nya dan si jemaat tetap saja miskin. Saya mendengar cerita dari kakak sepupu saya bahwa ada orang yang berjemaat di gereja Karismatik rela menyerahkan cincinnya untuk “dipersembahkan bagi pekerjaan Tuhan” di dalam gereja tersebut, tetapi beberapa waktu kemudian orang ini melihat istri pendeta gereja tersebut memakai cincin yang telah dipersembahkannya itu. Saat melihat kejadian tersebut, orang ini kecewa. Pdt. Dr. Stephen Tong juga pernah menceritakan bahwa di Amerika, banyak pemuda/i Kristen yang rela ditipu oleh banyak pemimpin gereja Karismatik sehingga banyak dari mereka yang rela menyerahkan semua uangnya bagi gereja, alhasil sesampainya di rumah, mereka bingung dan kaget mengapa semua uangnya habis serta kecewa. Benarkah Tuhan membuat manusia kecewa ? Yang membuat manusia kecewa adalah para “pemimpin gereja” yang mengatasnamakan Tuhan menipu manusia. Hal ini mirip dengan tindakan orang-orang Yahudi. Akibatnya, ketika Tuhan Yesus melayani, banyak orang mengikut-Nya dan bukan orang-orang Yahudi, karena Tuhan Yesus bukan hanya berteori saja, Ia juga mempraktikkannya.

Kemunafikan kedua, Paulus memaparkan, “Engkau yang berkata: "Jangan berzinah," mengapa engkau sendiri berzinah?” (ayat 22a) “Berzinah” ini identik dengan menyeleweng (terjemahan King James Version, English Standard Version dan International Standard Version memakai kata “commit adultery” atau melakukan perzinahan atau penyelewengan). Berzinah ini memang adalah berzinah secara jasmani. Kata larangan “Jangan berzinah” dalam Dasa Titah atau Sepuluh Perintah Allah berkaitan dengan perzinahan di dalam pernikahan. Di dalam Perjanjian Lama, Daud dan Salomo adalah dua orang yang tadinya setia kepada Allah akhirnya berzinah dan hidup tidak kudus, tetapi bedanya, Daud masih mau mengakui dosanya dan dengan rendah hati bertobat, sedangkan Salomo tidak mau bertobat dan terus memperbanyak dosanya sehingga ia dihukum oleh Tuhan di mana kerajaannya akan dibagi-bagi. Perzinahan sebenarnya bukan hanya menyangkut hal-hal jasmaniah, tetapi juga hal-hal rohaniah. Orang-orang Israel juga melakukan tindakan zinah rohani. Para pemimpin mereka mengkhotbahkan agar jangan berzinah, tetapi ketika musuh menyerang mereka, akhirnya mereka rela menyerahkan dan mengkompromikan iman mereka (atau “melacurkan iman mereka” atau berzinah rohani) dengan menyembah ilah-ilah asing. Sehingga banyak nabi-nabi Tuhan dibangkitkan oleh-Nya untuk menegur dosa mereka. Yosua dipanggil untuk menantang orang-orang Yahudi untuk beribadah kepada Allah atau ilah-ilah asing dengan menantang para nabi baal dengan ilah-ilah mereka. Yesaya juga dipanggil oleh Allah untuk menyuarakan berita kebenaran. Begitu pula dengan Yeremia, dan para hakim yang Allah panggil, seperti Deborah, dll, tetapi bagaimana hasilnya ? Mereka bukannya bertobat, malahan makin jahat, yaitu membunuh para nabi Allah. Sehingga tidak heran Tuhan Yesus menghakimi ahli Taurat dengan perkataan yang keras, “Sebab itu, lihatlah, Aku mengutus kepadamu nabi-nabi, orang-orang bijaksana dan ahli-ahli Taurat: separuh di antara mereka akan kamu bunuh dan kamu salibkan, yang lain akan kamu sesah di rumah-rumah ibadatmu dan kamu aniaya dari kota ke kota, supaya kamu menanggung akibat penumpahan darah orang yang tidak bersalah mulai dari Habel, orang benar itu, sampai kepada Zakharia anak Berekhya, yang kamu bunuh di antara tempat kudus dan mezbah.” (Matius 23:34-35). Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen ? Apakah kita juga berzinah secara rohani ? Bukankah orang-orang “Kristen” duniawi selalu “melacurkan” iman mereka dengan mengkompromikan keKristenan dengan ide-ide filsafat atheis (misalnya dualisme, humanisme dan materialisme) ? Itulah bukti perzinahan rohani. Kalau di zaman Perjanjian Lama, orang-orang Israel “melacurkan” iman mereka dengan menyembah ilah-ilah asing, maka di zaman postmodern yang gila ini, orang-orang “Kristen” ditambah banyak pemimpin “gereja” (apalagi dari banyak kaum Karismatik/Pentakosta, Katolik dan Protestan mainline yang memuja “theologia” religionum/social “gospel”) juga “melacurkan” iman mereka dengan memasukkan unsur filsafat duniawi yang atheistik ke dalam keKristenan (misalnya, memasukkan unsur Gerakan Zaman Baru ke dalam keKristenan dengan munculnya ide, “Sebut dan Tuntutlah/Name it and Claim it ! yang mengajarkan bahwa apapun yang kita sebutkan pasti terjadi {kuasa perkataan}. Misalnya, seperti ajaran Yonggi Cho, kalau kita ingin mobil VW kodok, marilah kita membayangkan mobil tersebut dari warnanya, seri, harga, dll, lalu “imani” bahwa kita telah mendapatkannya.). Bukan hanya itu saja, orang-orang “Kristen” ada yang mengaku diri “melayani ‘tuhan’” tetapi herannya di dalam dunia sekuler, ia sangat anti kalau nama Tuhan disebut di dalam dunia sekuler, karena hal itu tidak ada hubungannya (alasannya religion dan science tidak ada hubungannya). Inikah iman Kristen ?! TIDAK ! Ini adalah iman atheistik praktis murni ditambah humanisme dan dualisme sebagai reaksi dari humanisme !

Kemunafikan ketiga, Paulus mengatakan, “Engkau yang jijik akan segala berhala, mengapa engkau sendiri merampok rumah berhala?” (ayat 22b). Dengan kata lain, orang-orang Yahudi yang merasa bersalah ketika berbuat dosa, tetapi herannya bukannya menjauhi, malahan mendekati dan terus-menerus melakukan dosa. Orang-orang “Kristen” di abad ini juga melakukan tindakan serupa. Mereka tahu bahwa menipu, berbohong, malas, dll itu berdosa, tetapi mereka melakukannya, mengapa ? Apakah mereka tidak tahu ? TIDAK. Mereka tahu tetapi apa yang mereka ketahui dengan yang mereka ingin jalankan/patuhi itu berbeda. Mereka hanya ingin mengetahui apa yang berdosa dan apa yang tidak, tanpa mau terlibat menjalankan apa yang mereka telah ketahui. Mereka tahu malas itu berdosa, tetapi herannya mereka tidak mau mengubah sikap malas mereka, malahan terus-menerus malas, entah itu malas membaca Alkitab, malas mempelajari Firman Tuhan, malas berdoa, dll. Mereka mengaku diri orang Kristen, tetapi herannya anti bahkan tidak ingin mempelajari iman mereka. Bukankah ini suatu ironi yang aneh ? Kalau kita memiliki pacar/pasangan, bukankah kita ingin terus-menerus mengetahui dan mengenal pasangan kita lebih dalam ? Tetapi mengapa di dalam dunia rohani, kita enggan melakukan hal yang serupa ? Mengapa kita tidak mau mengenal kebenaran lebih dalam dan melakukannya ? Mengapa kita justru lebih suka apabila keKristenan itu hanya sebagai salah satu pedoman hidup di antara banyak pedoman hidup dari dunia (filsafat dualisme, humanisme dan materialisme) ? Kalau demikian, masih layakkah kita disebut orang “Kristen” apalagi “melayani ‘tuhan’” ?! Renungkanlah hal ini.

Kemunafikan keempat, Paulus menuturkan, “Engkau bermegah atas hukum Taurat, mengapa engkau sendiri menghina Allah dengan melanggar hukum Taurat itu?” (ayat 23). Orang-orang Yahudi bersukacita karena memiliki Taurat, tetapi herannya kesukacitaan mereka bukanlah murni dari hati mereka tetapi kesukacitaan palsu. Mengapa ? Karena buktinya mereka hanya berbangga dengan memiliki Taurat, tetapi mereka tidak berbangga jika mereka ingin menaati apa yang Taurat perintahkan. Apakah kebanggaan sejati itu ? Apakah kebanggaan itu diukur dari memiliki sesuatu yang berharga saja ? TIDAK. Kebanggaan sejati diukur bukan hanya dari memiliki sesuatu yang sangat berharga tetapi juga diukur dari seberapa kita memegang teguh dan mau berkorban bagi sesuatu yang sangat berharga itu. Jika orang Kristen memiliki wahyu khusus Allah yaitu Kristus dan Alkitab, maka itu merupakan kebanggaan. Tetapi kalau orang Kristen hanya berbangga pada waktu itu saja dan tidak mau berkorban dengan memberitakan Injil, mempelajari Firman dan berperang melawan dan menantang zaman, maka kebanggaan itu belumlah sempurna. Justru kebanggaan atau kemegahan sejati diukur dari seberapa besar kita mengerti Alkitab dengan mempelajarinya dan melakukannya misalnya dengan memberitakan Injil dan kehidupan yang memuliakan Tuhan di dalam seluruh aspek hidup kita. Paulus mengajarkan, “Jadi dalam Kristus aku boleh bermegah tentang pelayananku bagi Allah.” (Roma 15:17) Di dalam 1 Korintus 1:31, Paulus juga mengajarkan, “Karena itu seperti ada tertulis: "Barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan."” Kebanggaan sejati didapat hanya di dalam Tuhan, yaitu ketika mengerti dan melakukan Firman Tuhan di dalam hidup kita, bukan di dalam ukuran duniawi yang fana ini.

Sebagai kesimpulan, Paulus menuliskan, “Seperti ada tertulis: "Sebab oleh karena kamulah nama Allah dihujat di antara bangsa-bangsa lain."” Hal ini paralel dengan Yesaya 52:5, di mana bangsa-bangsa lain menghujat Allah. Mengapa ? Apakah karena mereka tidak mengenal Allah ? Itu bisa terjadi, tetapi intinya adalah karena mereka melihat tindakan orang-orang Yahudi yang tidak berbeda dengan bangsa mereka. Mereka melihat orang-orang Yahudi juga ikut-ikutan menyembah ilah-ilah lain dan ketika berperang, bangsa Israel kalah. Pada zaman itu, ketika ada peperangan antar bangsa, Allahnya juga ikut berperang. Ketika suatu bangsa itu kalah, maka “Allah”nya juga ikut-ikutan dicemooh. Nah, pada waktu itu bangsa Israel tertawan di negeri orang, dan Israel mendapat cemoohan dari mereka. Secara otomatis, Allah Yehovah juga dicemooh. Mengapa orang-orang Israel tertawan ? Karena mereka tidak setia kepada Allah. Mereka hanya mau mendengarkan ajaran-ajaran yang menyenangkan telinga mereka ketimbang mendengar kebenaran. Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen ? Apakah kita juga tidak jauh berbeda dengan orang-orang Yahudi yang tidak setia lalu akhirnya dihukum Tuhan dan akhirnya nama Tuhan dipermalukan karena kita ? Kesetiaan atau ketidaksetiaan kita sangatlah berpengaruh. Ketika kita setia kepada Tuhan, orang luar akan melihat kita dan akhirnya jika Roh Kudus menggerakkannya, orang itu akan kembali kepada Kristus, karena orang ini melihat bahwa di tengah ancaman, penderitaan dan godaan yang berat, kita masih tetap setia kepada Tuhan. Tetapi jika kita tidak setia kepada Tuhan, orang luar pun akan melihat kita dan alhasil, orang ini malahan mengutuk Tuhan karena bagi orang ini, tindakan kita tidak jauh berbeda dengan tindakan mereka yang masa bodoh dengan dosa dan bahkan melakukan dosa itu sendiri.

Setelah kita merenungkan empat ayat ini, sadarkah kita tentang pembongkaran dari hukum Allah terhadap konsep kita yang selama ini berdosa dan anehnya kita anggap “hebat” dan “pandai” ?! Maukah kita hari ini bertobat dengan merombak total pemikiran kita yang najis ini dan kembali kepada Kristus dengan men-Tuhan-kan Kristus di dalam hidup kita sehingga orang luar dapat melihat apa yang kita imani, pikirkan dan lakukan lalu atas dorongan Roh Kudus, orang itu dapat kembali kepada Kristus ?! Soli Deo Gloria. Amin.

No comments: