16 August 2007

Roma 2:14-16 : STANDAR PENGHAKIMAN ALLAH: ESENSI ATAU FENOMENA ?-2

Seri Eksposisi Surat Roma :
Realita Murka Allah-12


Standar Penghakiman Allah : Esensi atau Fenomena ?-2

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 2:14-16.

Setelah kita merenungkan standar penghakiman Allah bagi orang-orang Yahudi dan non-Yahudi berdasarkan Taurat di mana Tuhan tidak tertarik kepada hal-hal fenomenal, tetapi Ia melihat hati manusia yang mau taat menjalankan apa yang Ia perintahkan, maka Paulus menjelaskan ayat 13 dengan lebih gamblang tentang standar penghakiman Allah yang lebih memperhatikan esensi ketimbang fenomena. Di ayat 14, Paulus mengajarkan, “Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri.” atau Bahasa Indonesia Sehari-hari menerjemahkan, “Orang-orang bangsa lain tidak mengenal hukum agama Yahudi. Tetapi kalau mereka atas kemauan sendiri melakukan apa yang diperintahkan oleh hukum itu, hati mereka sendirilah yang menjadi hukum untuk mereka, meskipun mereka tidak mengenal hukum agama Yahudi.” Kalau di ayat 13, Paulus menjabarkan bahwa Allah menghakimi manusia berdasarkan tindakan ketaatan manusia, maka di ayat 14 ini, Paulus menjelaskan tentang ketaatan manusia yang bukan Yahudi kepada Allah Israel. Kata “bangsa-bangsa lain” di dalam terjemahan Inggris berarti Gentiles yang identik dengan orang-orang kafir atau orang-orang non-Yahudi. Bagi orang-orang Yahudi, di luar Yahudi dan Taurat, tidak ada keselamatan. Oleh karena itu, mereka menghina orang-orang non-Yahudi sebagai orang kafir dan orang-orang buangan Allah, lalu mereka menganggap diri hebat, suci, benar, dll, karena mereka sudah memiliki Taurat. Padahal Taurat diwahyukan oleh Allah bukan sebagai bahan atau sesuatu untuk disombongkan. Melalui Taurat, Allah ingin semua bangsa di luar Israel mendengarkan kabar baik, tetapi sayangnya berita Taurat dimonopoli hanya oleh orang-orang Israel saja lalu menghina mereka yang bukan Yahudi (baik secara agama maupun bangsa). Kita pun seringkali melakukan apa yang orang-orang Yahudi lakukan. Sebagai orang Kristen, kita sudah mendapatkan jaminan anugerah keselamatan kekal dari Allah di dalam Kristus, tetapi herannya anugerah ini kita simpan terus-menerus dan tidak pernah kita bagikan dan beritakan kepada mereka yang belum mendengar berita Injil. Banyak dari kita menganggap bahwa kita tidak perlu menginjili, karena orang-orang di luar Kristus itu layak dibinasakan. Memang benar bahwa di luar Kristus tidak ada jalan keselamatan, tetapi prinsip ini jangan disalahmengerti lalu kita tidak mau memberitakan Injil. Kalau kita telah mendapatkan berkat yang terbesar yaitu keselamatan di dalam Kristus, itu seharusnya yang kita beritakan kepada orang lain. Jangan mengulangi kesalahan-kesalahan orang-orang Yahudi yang sombong karena telah memiliki Taurat. Meskipun orang-orang non-Yahudi tidak memiliki Taurat, mereka memiliki kemauan melakukan apa yang dituliskan oleh Taurat. Kemauan ini mutlak bukan atas dorongan mereka sendiri, tetapi digerakkan oleh Tuhan. Di dalam theologia Reformed, ini disebut anugerah umum (common grace), di mana Allah menyatakan anugerah umum-Nya untuk menghentikan sementara dosa dan akibatnya di dalam dunia. Sehingga tidak heran, di dalam dunia, kita dapat melihat orang-orang non-Kristen sekalipun memiliki perbuatan dan pemikiran yang baik dan pintar bahkan lebih daripada orang-orang Kristen. Ini membuktikan adanya anugerah umum Allah yang tetap mengandung bibit dosa. Mengapa mereka bisa melakukan Taurat ini meskipun tidak memiliki Taurat ? Taurat seperti apa yang digambarkan oleh Paulus ini ? Dalam tafsirannya, John Gill mengutip pernyataan Plato yang membagi hukum menjadi dua, yaitu hukum yang tertulis (written law) yang dipakai di negara dan hukum yang tidak tertulis (unwritten law) yang berdasarkan natur atau kebudayaan yang tertanam di dalam pikiran/hati manusia. Taurat secara harafiah dan tertulis tidak dimiliki oleh orang-orang non-Yahudi, tetapi secara tak tertulis, Taurat itu telah ditanamkan oleh Allah di dalam setiap hati manusia. Di dalam theologia Reformed, Allah menyatakan diri-Nya melalui dua sarana, yaitu wahyu umum (general revelation of God) yang meliputi alam dan hati nurani (respon manusia : sains dan agama/kebudayaan) dan wahyu khusus (special revelation of God) yang mencakup Tuhan Yesus dan Alkitab. Melalui prinsip ini, kita tetap harus menghargai bahwa orang-orang di luar Kristen pun boleh dikatakan berbijaksana, karena mengajarkan beberapa hal yang baik, misalnya dari Kong Fu-Tse bahwa segala sesuatu yang kamu tahu itulah pengetahuan atau dari Socrates bahwa segala sesuatu yang tidak kamu ketahui itulah yang disebut “tahu”. Kedua filsafat ini baik, karena mereka berdua meresponi apa yang Allah telah wahyukan secara umum di dalam hati nurani mereka. Meskipun baik, kedua filsafat ini masih kurang sempurna, mengapa ? Karena mereka hanya menerima wahyu umum Allah tanpa wahyu khusus Allah yang bersifat menyelamatkan dan menebus (redemptive revelation).

Selanjutnya, dasar kelakuan mereka dijelaskan oleh Rasul Paulus pada ayat 15, “Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.” (Bahasa Indonesia Sehari-hari menerjemahkan, “Kelakuan mereka menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan oleh hukum itu tertulis di hati mereka. Hati nurani mereka pun membuktikan hal itu, sebab mereka sendiri ada kalanya disalahkan dan ada kalanya dibenarkan oleh pikiran mereka.”). Mereka dapat melakukan apa yang Taurat perintahkan karena adanya hukum Allah tertanam di dalam hati nurani mereka. Di dalam terjemahan BIS, saya menyukai pernyataan yang dipakai, “Kelakuan mereka menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan oleh hukum itu tertulis di hati mereka...” Tindakan seseorang mencerminkan apa yang mereka percayai, tetapi tidak berarti tindakan itu satu-satunya batu penguji apakah kepercayaan orang tersebut itu benar atau tidak. Mengapa pernyataan ini diajarkan oleh Paulus ? Apakah Paulus ingin mengajarkan bahwa yang terpenting itu perbuatan baik ? Bukankah di dalam Roma 3:24, 27, Paulus mengajarkan bahwa manusia dibenarkan melalui iman ? Lalu apakah kedua hal ini berkontradiksi ? TIDAK. Ayat 15 diajarkan oleh Paulus untuk mengajar orang-orang Yahudi agar mereka tidak menghina orang-orang non-Yahudi yang tidak memiliki Taurat secara tertulis. Iman sejati mengeluarkan/menghasilkan kelakuan yang baik. Di dalam ayat ini, saya membagi dua macam respon hati nurani manusia, yaitu, pertama, hati nurani manusia yang menghasilkan perbuatan. Hati nurani sebagai wakil Allah di dalam diri manusia memungkinkan dan mendorong manusia untuk berbuat sesuai apa yang Allah perintahkan (meskipun tidak 100% sempurna). Misalnya, ketika dari kecil, anak diajarkan untuk taat kepada orangtua, hati nurani terus bersuara mendorong anak-anak untuk menaati orangtua. Kedua, hati nurani manusia menghakimi. Bukan hanya mendorong seseorang untuk berbuat baik, hati nurani juga bertugas menghakimi manusia yang mencoba bertindak jahat. Mungkin kita memiliki pengalaman ketika kita ingin mencuri dompet orang, lalu tiba-tiba hati kita berdebar-debar dan hati nurani kita mengingatkan kita. Di saat itu, mulailah belajar untuk mematuhi suara hati nurani karena itu suara perwakilan Allah untuk menegur manusia. Meskipun tidak 100% mewakil suara Allah, hati nurani yang sudah terpolusi oleh dosa tetap bisa berfungsi normal, asalkan kita mau peka mendengarkan suaranya.

Apakah berarti hati nurani satu-satunya standar penghakiman Allah ? TIDAK. Di dalam ayat 16, Paulus menjelaskan, “Hal itu akan nampak pada hari, bilamana Allah, sesuai dengan Injil yang kuberitakan, akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia, oleh Kristus Yesus.” (Bahasa Indonesia Sehari-hari, “Demikianlah yang akan terjadi nanti pada hari yang sudah ditentukan itu. Pada hari itu--menurut Kabar Baik yang saya beritakan--Allah melalui Yesus Kristus, akan menghakimi segala rahasia hati dan pikiran semua orang.”). Standar penghakiman Allah melalui ayat 16 ini hanyalah di dalam Tuhan Yesus Kristus. Di dalam theologia Reformed, kita mempercayai wahyu umum memiliki kelemahan dan hanya bisa disempurnakan oleh wahyu khusus yang bersifat menebus di dalam pribadi Kristus. Di dalam Kristus, penghakiman Allah berlangsung adil (Pengkhotbah 12:14 ; 2 Korintus 5:10). Penghakiman-Nya inilah yang menghakimi segala sesuatu yang terselubung di dalam hati dan pikiran manusia. Mungkin selama kita hidup di dalam dunia ini, kita masih membohongi orang-orang sekitar dengan kelakuan-kelakuan kita yang religius, baik, menolong, dll, tetapi ingatlah, suatu saat di dalam takhta pengadilan Kristus, kita tidak bisa berdalih apapun, karena di hadapan-Nya, kita ditelanjangi. Mengapa harus di dalam Kristus ? Karena Kristus adalah Hakim dan Raja yang ditentukan Bapa sebagai wujud pemuliaan atas-Nya dari Bapa karena telah taat dan setia melakukan tugas Bapa-Nya. Kristus juga adalah Penebus dosa kita yang ditentukan Bapa. Ia yang menebus dosa kita harus bernatur 100% Allah dan 100% manusia. Dan apa yang dikerjakan Kristus tak mungkin pernah dilakukan oleh semua pendiri agama dan nabi lainnya, karena Kristus bukan hanya mengajarkan kebenaran tetapi sebagai Sumber Kebenaran (Yohanes 14:6). Selain itu, Kristus juga disebut Hakim, dan kitab Wahyu mendeskripsikan hal ini melalui nyanyian anak-anak Tuhan, “Besar dan ajaib segala pekerjaan-Mu, ya Tuhan, Allah, Yang Mahakuasa! Adil dan benar segala jalan-Mu, ya Raja segala bangsa! Siapakah yang tidak takut, ya Tuhan, dan yang tidak memuliakan nama-Mu? Sebab Engkau saja yang kudus; karena semua bangsa akan datang dan sujud menyembah Engkau, sebab telah nyata kebenaran segala penghakiman-Mu.” (Wahyu 15:3-4). Standar penghakiman Allah yang tidak dapat dikompromikan ini seharusnya menjadi refleksi agar kita sebagai anak-anak-Nya tidak manja dan terus berkanjang di dalam dosa, melainkan harus sadar, bertobat dan kembali kepada Kristus. Pertobatan ini bukan karena keterpaksaan atau supaya tidak dihukum, tetapi sebagai respon positif atas anugerah-Nya yang begitu besar.

Setelah kita merenungkan ketiga ayat ini, sudahkah kita menyadari bahwa apa yang Kristus telah kerjakan di atas kayu salib mampu dan sanggup serta telah membayar utang dosa kita akibat ketidaktaatan kita kepada perintah-Nya di dalam Taurat ? Sudahkah kita selanjutnya menyadari bahwa sesudah kita diselamatkan, kita tetap harus mengerjakan Taurat dengan dasar cinta kasih yang telah kita peroleh dan teladani dari Kristus ?? Maukah kita melakukan apa yang Ia perintahkan bukan dengan bersungut-sungut, tetapi dengan cinta kasih ? Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: