09 July 2007

Roma 2:5 : KEADILAN ALLAH TERHADAP TINDAKAN MANUSIA-1

Seri Eksposisi Surat Roma :
Realita Murka Allah-8


Keadilan Allah Terhadap Tindakan Manusia-1

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 2:5

Pada ayat sebelumnya, ayat 4, Firman Tuhan sudah mengajarkan bahwa maksud kemurahan-Nya adalah menuntun kepada pertobatan, tetapi herannya manusia yang sudah diberitahu fakta ini menyangkal bahkan mereka tetap mengeraskan hati mereka sehingga tidak mau bertobat. Paulus mengatakan di ayat 5, “Tetapi oleh kekerasan hatimu yang tidak mau bertobat, engkau menimbun murka atas dirimu sendiri pada hari waktu mana murka dan hukuman Allah yang adil akan dinyatakan.” atau dalam terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), “Tetapi kalian keras kepala dan tidak mau berubah. Oleh sebab itu kalian sendirilah yang membuat hukumanmu menjadi bertambah berat pada Hari Kiamat, bila Allah menyatakan murka-Nya dan menjatuhkan hukuman yang adil.” Di dalam terjemahan King James Version (KJV), ayat ini diterjemahkan, “But after thy hardness and impenitent heart treasurest up unto thyself wrath against the day of wrath and revelation of the righteous judgment of God;” Frase “kekerasan hatimu yang tidak mau bertobat” di dalam terjemahan KJV digabungkan menjadi, “hatimu yang keras/tidak berperasaan dan tidak mau bertobat”. Di sini, terjemahan KJV menggabungkan antara hati yang keras/tidak berperasaan/keras kepala dengan hati yang tidak mau bertobat. Mengapa ada penggabungan ini ? Karena : Pertama, bagi Paulus, pertobatan tidak terjadi mulai dari pikiran atau perbuatan, tetapi dari hati/iman. Dan iman/hati dahulu lah yang perlu dikoreksi dan diperbaharui. Di sepanjang sejarah Perjanjian Lama, bangsa Israel begitu antusias beribadah menyembah Allah, secara kasat mata, mereka kelihatan religius, tetapi benarkah prinsip hidup mereka seperti demikian ? Amos 5:21-24, Tuhan memperingatkan mereka dengan keras, “"Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir."” Bukankah ketika memilih Daud menjadi raja Israel menggantikan Saul, Allah lebih melihat hati ketimbang apa yang nampak di luar ? Di sini membuktikan bahwa Allah tidak ditipu oleh sesuatu fenomena yang tampak bagus di luar, tetapi Allah melihat hati manusia sebagai sesuatu yang terdalam di dalam pribadi manusia. Amsal 20:27 (Bahasa Indonesia Sehari-hari) menegaskan, “Hati nurani manusia merupakan terang dari TUHAN yang menyoroti seluruh batin.” Kata “hati nurani” sama artinya dengan roh yang dalam bahasa Ibrani neshâmâh berarti wind (angin), vital breath (pernapasan vital), divine inspiration (inspirasi Ilahi). Di dalam doktrin tentang dikotomi (manusia dibagi menjadi tubuh dan jiwa/roh), antara roh dan hati tidak dapat dibedakan, karena kedua-duanya satu kesatuan dan Alkitab menggunakannya silih berganti membuktikan bahwa kedua istilah ini yaitu antara roh dan jiwa adalah satu kesatuan/sama. Ketika hati manusia mengeraskan hati dan tidak mau bertobat, maka hati ini akan mempengaruhi pikiran dan akhirnya menentukan tindakan manusia yang tidak karuan (Dr. Francis A. Schaeffer, “I do what I think and I think what I believe”{“Aku melakukan apa yang kupikirkan dan aku berpikir apa yang kupercaya”}). Mengapa Dan Brown menulis buku The Da Vinci Code ? Saya yakin sepenuhnya di balik presuposisi penulisan Dan Brown ini ada semacam hati yang memberontak terhadap Allah dan ingin melecehkan-Nya, meskipun buku yang ditulisnya disebut novel/fiksi (sekaligus “fakta”).
Kedua, Paulus yang menggabungkan dua kata yang menggabungkan antara hati yang keras dan tidak mau bertobat ingin menjelaskan bahwa ketika hati manusia tidak berperasaan tentulah hati itu tidak mau bertobat. Hati yang keras/tidak berperasaan ini berarti hati yang bersikukuh pada pendiriannya sendiri, menganggap diri sendiri paling benar, dan itulah hati/iman yang TIDAK bersandar kepada Tuhan, tetapi kepada diri. Itu yang saya sebut sebagai self-centred faith/self-centred heart. Hati yang lebih mengagungkan pendirian diri tentulah mengakibatkan hati tersebut enggan mengakui segala keberdosaannya dan berbalik kepada Tuhan, secara otomatis hati ini menghasilkan hati yang tidak mau bertobat. Dunia postmodern ini juga tidak jarang dijumpai banyak orang dunia (termasuk orang “Kristen) yang mengaku diri “beriman” atau “berhati baik”, tetapi sebenarnya “iman” atau “hati” mereka hanya bersandar kepada diri. Kalau mereka benar-benar memiliki hati yang baik, maka ketika Tuhan datang dan mencerahkan hati mereka, mereka pasti bertobat, tetapi kenyataannya berbalik 180 derajat. Mereka bukan saja tidak bertobat, malahan mereka menghina Kristus yang tersalib, Alkitab sebagai satu-satunya Wahyu Allah yang final, dll. Inikah bukti bahwa hati mereka “baik” ? TIDAK. Tepat seperti yang Paulus ungkapkan bahwa hati yang tidak berperasaan/keras pasti menghasilkan hati yang tidak mau bertobat.

Lalu, apa yang terjadi dengan orang yang hatinya keras dan tidak mau bertobat ini ? Banyak orang dunia menyangka bahwa justru ketika mereka hidup sembrono, hidup mereka bakal menjumpai kesejahteraan dan kekayaan, tetapi benarkah Alkitab berkata demikian ? Di dalam ayat 5 frase berikutnya, Paulus menjelaskan, “engkau menimbun murka atas dirimu sendiri pada hari waktu mana murka dan hukuman Allah yang adil akan dinyatakan.” (Bahasa Indonesia Sehari-hari menerjemahkan, “Oleh sebab itu kalian sendirilah yang membuat hukumanmu menjadi bertambah berat pada Hari Kiamat, bila Allah menyatakan murka-Nya dan menjatuhkan hukuman yang adil.”) Paulus memaparkan fakta bahwa justru mereka yang hatinya keras dan tidak mau bertobat ini sebenarnya sedang menimbun murka Allah pada diri mereka sendiri. Bangsa Israel ketika hati mereka menyeleweng dari Allah dengan menyembah ilah-ilah lain, mereka harus menanggung hukuman Allah, yaitu dibuang ke Babel dan negara-negara kafir lainnya yang mengakibatkan bangsa Israel kehilangan identitas mereka. Bagaimana dengan Hawa ? Kejadian 3 memberitahu kita bahwa dosa manusia pertama tidak terjadi ketika Hawa mulai memetik buah itu atau bahkan memakannya, tetapi dosa Hawa terjadi ketika hatinya tidak mau berpaut dan taat kepada Allah lalu lebih menuruti suara iblis. Lalu, apakah setelah demikian, Hawa menjadi bebas/merdeka ? TIDAK ! Justru di dalam keberdosaannya, Hawa (dan suaminya, Adam) sedang menimbun murka Allah yang dahsyat, yaitu dibuang dari Taman Eden. Keadaan manusia di akhir zaman nantinya pun akan berlaku hal yang sama, di mana mereka yang tetap menolak untuk percaya kepada Kristus, merekalah yang harus menerima kematian kedua, yaitu api neraka (Wahyu 20:14-15). Ini membuktikan tindakan manusia harus dipertanggungjawabkan kelak di hari penghakiman. Sayangnya di abad postmodern ini, manusia dunia (bahkan banyak orang “Kristen”) lebih memuja istilah “hak asasi” ketimbang tanggung jawab. Benarkah merupakan suatu hak asasi jika Dan Brown menulis The Da Vinci Code lalu hak asasinya bisa dibenarkan ? Saya yakin TIDAK. Meskipun itu merupakan suatu hak asasinya, jika ia tidak segera bertobat, hak asasinya itulah yang harus dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Tuhan (2 Korintus 5:10). Kalau abad yang gila ini sedang menggemari istilah “hak asasi”, tetapi yang lebih aneh lagi, penggemar istilah inilah yang justru merugikan hak asasi orang lain. Coba lihatlah kasus di Indonesia, di mana banyak buruh berdemonstrasi menuntut hak asasi mereka, yaitu kenaikan gaji, dipenuhi, tetapi herannya mereka tidak sadar bahwa karena tindakan demonstrasi mereka (yang mayoritas mogok kerja), bos-bos mereka mengalami kerugian (hak asasi si bos). Inikah hak asasi ? Bagi saya, hak asasi tanpa tanggung jawab bukanlah hal yang baik. Dari mana muncul pengertian tanggung jawab manusia ? Dari dunia ? TIDAK MUNGKIN ! Hanya dari keKristenan yang mengerti konsep tanggung jawab manusia berdasarkan perintah Allah di dalam Alkitab. Islam, Budha, dll tidak pernah mengerti istilah ini dengan tepat, mengapa ? Karena mereka hanya diajarkan untuk berbuat baik, tanpa mengerti alasan dan esensinya ? Yang lebih mengherankan, ketika saya mempresentasikan sebuah bahan yang salah satunya membahas dan mengkritik buku The Da Vinci Code, seorang teman saya yang beragama Budha di kampus Petra mengatakan bahwa saya sedang “menghakimi” dan baginya, Dan Brown memiliki hak asasinya untuk menulis buku tersebut. Kalau kita menyelidiki ajaran Budha, maka di dalam Budhisme, tidak ada konsep tentang tanggung jawab, mengapa ? Karena Budhisme mengajarkan konsep reinkarnasi, semua orang baik yang hidup baik atau jahat kelak akan mati dan akan menjadi makhluk lain (kalau selama hidupnya orang itu berbuat baik maka orang itu menjadi manusia lagi, sedangkan kalau selama hidupnya seseorang berbuat jahat maka orang itu bakal menjadi anjing/semut/dll). Lalu, mereka juga tidak mengerti esensi dan alasan berbuat baik, karena mereka mempercayai bahwa perbuatan baik harus dicapai untuk mencapai “nirwana/sorga”. Bagaimana mungkin mereka mengerti esensi dan alasan berbuat baik ditambah pentingnya tanggung jawab manusia ? Di dalam theologia Reformed yang berusaha mengerti dan menafsirkan Alkitab sedekat dan setuntas mungkin mengajarkan bahwa tanggung jawab manusia tetap ada sebagai respon terhadap kedaulatan Allah. Jangan mengerti theologia Reformed sebagai presuposisi theologia yang hanya menekankan kedaulatan Allah dan membuang tanggung jawab manusia ! Itu bukan theologia Reformed, tetapi Hyper-Calvinism (yang tidak ada bedanya dengan konsep takdir di dalam Islam). Sedangkan Arminianisme (lawan Calvinisme/theologia Reformed) terlalu menekankan tanggung jawab manusia dan menghilangkan kedaulatan Allah, sehingga yang dipentingkan adalah kehendak bebas manusia dan bukan Allah (meskipun konsep ini enggan mereka akui di dalam kepercayaan mereka). Kembali, di dalam theologia Reformed dan ditegaskan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong bahwa manusia itu hidup bukan berdasarkan apa yang ia pikirkan, tetapi apa yang ia responi terhadap anugerah Allah. Hidup manusia yang salah satunya berisi tanggung jawab di dalamnya adalah respon terhadap anugerah dan kedaulatan Allah. Jadi, ketika manusia berdosa, jangan menyalahkan Allah yang menciptakan dosa. Dosa, meskipun diizinkan (bukan diciptakan) Allah, tetap adalah ulah manusia yang nantinya harus dipertanggungjawabkan manusia. KeKristenan, khususnya theologia Reformed menolak dengan tegas istilah TAKDIR, lalu menyamakan semua detik kehidupan manusia termasuk yang buruk sekalipun (termasuk cerai, berzinah, menikah lagi, dll) sudah ditakdirkan Allah. Itu gila namanya. Allah tidak pernah memimpin manusia kepada kejahatan, tetapi Allah mengizinkan/membiarkan mereka hidup tidak beres. Ayat yang baru kita baca tadi mengingatkan kita tentang pentingnya tanggung jawab manusia sebagai respon terhadap kedaulatan Allah. Ketika Allah sudah menyatakan diri-Nya kepada manusia dan manusia tetap menolaknya, maka manusia itu tetap harus mempertanggungjawabkan apa yang telah mereka tolak (meskipun penolakan manusia ini sudah ditentukan Allah sejak semula sebagai sisa-sisa manusia yang telah dipilih-Nya dahulu) kelak di hadapan tahta penghakiman Allah yang adil dan dinyatakan/disingkapkan (KJV, “treasurest up unto thyself wrath against the day of wrath and revelation of the righteous judgment of God;”).

Kalau manusia di abad postmodern yang terus mendengungkan kasih Allah, maukah kita menyadari bahwa di dalam kasih Allah, juga terdapat keadilan dan murka-Nya ? Ayat 5 yang sedang kita renungkan saat ini mengingatkan kita bahwa murka dan hukuman Allah tetap berlangsung bagi mereka yang menolak-Nya. Hari ini, maukah kita bertobat dan kembali kepada-Nya dengan pengertian yang bertanggungjawab ?

No comments: