05 March 2007

WHAT'S WRONG WITH SECULAR WORLDVIEW ?

WHAT'S WRONG WITH SECULAR WORLDVIEWS ?
(Reformed Perspectives and Answers on the Problems of Secular Worldviews)

oleh : Denny Teguh Sutandio


Ev. Agus Marjanto di dalam khotbahnya di National Reformed Evangelical Youth Convention (NREYC) 2006 tentang “Mandat Budaya” menyatakan bahwa pusat dari budaya adalah worldview (sudut pandang). Setiap budaya pasti memiliki worldview berbeda, apalagi kalau budaya itu terkait dengan agama yang dianutnya. Misalnya, agama Islam mempengaruhi budaya Arab dan juga Indonesia, lalu agama dan budaya ini mempengaruhi cara mereka melihat dunia sekitar (worldview). Dengan demikian, setiap worldview yang dihasilkan oleh masing-masing budaya berbeda satu sama lain. Pertanyaan selanjutnya, apakah ada standar bagi worldview yang beres dan bertanggungjawab ? Kalau ada, apakah standar itu cukup trustworthy dan qualified untuk dijadikan standar universal ?

Di dalam theologia Reformed, dosa dikatakan telah merusak manusia (Total Depravity), sehingga tidak ada satu manusia pun di dunia yang tidak berdosa. Dosa ini menyebar sampai ke seluruh bagian manusia, sehingga dari rasio, tubuh jasmani, kehendak, emosi, keinginan, dan hati nurani manusia sudah terpolusi oleh dosa. Sehingga tidak heran, ketika budaya itu muncul sebagai reaksi terhadap alam semesta yang telah diciptakan oleh Allah dan juga ada unsur sebagian di dalam diri manusia, maka budaya itu juga ikut tercemar oleh dosa. Kalau budaya sudah tercemar dosa, maka secara otomatis worldview mereka juga ikut tercemar. Worldview yang tercemar dapat dilihat adanya banyak kontradiksi yang dengan mudah (kadang agak sulit) kita dapati. Dengan standar apa kita melihat adanya keanehan di dalam suatu worldview ini ? Dengan standar sekular ? TIDAK. Lalu ? Di dalam theologia Reformed, kita mempercayai adanya infalibilitas dan ineransi Alkitab, artinya Alkitab tidak mungkin bersalah baik dari segi sejarah maupun pesan dalam naskah asli (autographa)nya. Di dalam Alkitab yang telah diwahyukan Allah ini mengajarkan adanya supremasi Allah di mana Allah sebagai Penguasa, Pencipta, Pemelihara segala sesuatu. Sehingga doktrin Alkitab ini mempengaruhi cara kita melihat segala sesuatu dari sudut pandang kedaulatan Allah. Oleh karena itu, marilah dengan rendah hati kita melihat dan memperhatikan dengan seksama adanya keanehan (termasuk kontradiksi) di dalam worldview manusia berdosa dan kita akan memperhatikan juga satu-satunya jawaban final dan tantangan dari worldview Kristen khususnya di dalam pandangan theologia Reformed bagi permasalahan keanehan worldview sekuler ini.

Di dalam abad modern, manusia mementingkan rasio sebagai satu-satunya jalan kebenaran. Di luar rasio, tidak mungkin ada kebenaran. Hal ini mulai muncul sejak zaman Pencerahan dan berakibat munculnya filsafat humanisme sampai sekarang. Salah satu tokoh rasionalisme, Rene Descartes mengatakan, “Cogito ergo sum” (I think therefore I exist). Bagi Descartes, rasio adalah segala-galanya. Bahkan, iman pun harus diukur dari rasio, kalau tidak masuk akal, maka iman itu tidak perlu diterima. Sehingga tidak heran, filsafat Yunani di abad ini berkembang pesat dan meracuni juga keKristenan. Di dalam abad ini, khususnya di dalam keKristenan, dikenal istilah higher criticism, lalu bermunculanlah “theologia” liberal (G. I. Williamson dalam bukunya Katekismus Singkat Westminster 1 menyebutnya sebagai : modernisme lama) yang meragukan finalitas Alkitab dan Kristus. Sungguh menarik untuk disimak, kelemahan fatal rasionalisme ini adalah rasio itu sendiri belum pernah diuji kevaliditasannya untuk dijadikan standar kebenaran, tetapi kok masih bisa diterima sebagai ukuran kebenaran. Bagi saya, ini adalah suatu absurditas yang aneh. Tetapi di sisi lain, rasionalisme memberikan sedikit sumbangsih positif yaitu agar kita tidak terjebak oleh hal-hal fenomenal, oleh karena itu kita perlu berwaspada dan menguji segala sesuatu. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa kita harus rasional, tetapi bukan rasionalis. Artinya, tidak ada salahnya orang Kristen yang beriman tetap mempergunakan rasio mereka, asalkan rasio itu ditundukkan dan setia kepada kebenaran Firman. Rasio manusia harus dipergunakan semaksimalkan mungkin asalkan itu tunduk dan setia kepada Alkitab, karena rasio itu adalah ciptaan Allah di dalam diri manusia. Tetapi meskipun demikian, rasio tidak boleh diberhalakan sebagai standar kebenaran, karena rasio manusia tetap terbatas untuk dapat memikirkan hal-hal yang tidak terbatas. Seperti seorang anak yang baru berusia 2-3 tahun, tak mungkin dapat mengerti istilah-istilah dan pemikiran-pemikiran orang yang sudah berusia 40 tahun ke atas, demikian rasio kita itu terbatas seperti anak tersebut yang tak mungkin mengerti hal-hal yang tidak terbatas. Kelemahan fatal rasionalisme akhirnya ditutup dengan meletusnya dua kali Perang Dunia yang terjadi pada tahun 1914-1918 dan 1942-1945. Setelah Perang Dunia 2, manusia baru sadar akan keterbatasan rasio. Tetapi ternyata kesadaran mereka bukan kembali dan bertobat kepada Allah, melainkan mencari alternatif lain untuk menemukan “kebenaran”. Maka, zaman modern digantikan dengan zaman postmodern mulai kira-kira akhir abad 20.

Zaman yang kita hidupi sekarang adalah zaman postmodern yang mendengungkan filsafat utama, yaitu relativisme karena mereka mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah relatif di tengah zaman yang serba plural (jamak) ini. Karena segala sesuatu adalah relatif, maka mereka sangat anti dan melawan konsep kemutlakan, apalagi sikap eksklusivitas baik di dalam pendirian, konsep, filsafat maupun iman/agama. Sehingga tidak heran, di era postmodern ini, dialog antar agama mendapat sambutan hangat khususnya dari pihak Kristen (Katolik dan mayoritas Protestan mainline yang sudah liberal). Di dalam momen dialog antar agama, yang dipentingkan adalah bagaimana antar agama dapat belajar untuk menemukan “kebenaran”, karena menurut mereka, semua agama itu “sama-sama” mengajarkan “kebenaran”. Forum ini digagas termasuk oleh orang-orang Kristen sendiri bahkan dari petinggi-petinggi “gereja”, misalnya Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konperensi Waligereja Indonesia (KWI), World Alliance of Reformed Churches (WARC ; wadah gereja “Reformed” sedunia yang telah menjadi liberal) bahkan sampai Dewan Gereja-gereja Sedunia (DGD). “Theologia” yang menyuarakan adanya relativisme ini disebut “theologia” religionum yang menjadi satu saudara dengan social “gospel”, karena kedua ajaran ini sama-sama mengajarkan pentingnya aksi sosial sebagai tindakan “penginjilan” (baca buku “Theologia Abu-abu : Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme Dalam Teologi Kristen Masa Kini” yang ditulis oleh Pdt. Dr. Stevri I. Lumintang). Bukan hanya dialog antar agama, orang-orang “Kristen” yang telah dipengaruhi oleh filsafat ini juga suka mengucapkan “selamat berpuasa” kepada mereka yang beragama lain. Mengapa ? Karena mereka mengatakan bahwa dengan mengucapkan selamat demikian mereka sedang “menghormati” agama lain, padahal Alkitab tidak pernah memerintahkan tindakan yang tidak bertanggungjawab itu ! Entah, itu ide dari Alkitab atau relativisme kah yang dijadikan standar kebenaran bagi orang-orang “Kristen” abad postmodern ini ?!

Selain di bidang agama, relativisme telah menguasai bidang pendidikan. Sehingga tidak usah heran, kita melihat dan mendengar keluhan banyak guru Kristen yang bertanggungjawab yang tidak diperbolehkan oleh pihak sekolah untuk menegur anak-anak didik meskipun mereka nakal. Banyak pendidik dan lembaga pendidikan terpengaruh oleh relativisme dengan mengatakan bahwa kita harus membiarkan mereka berkreativitas sendiri karena apa yang mereka anggap baik belum tentu baik menurut kita (sang pendidik). Di dalam mata kuliah tentang kebudayaan, saya mengajukan topik pembahasan tentang efek negatif ibadah Karismatik/Pentakosta terhadap gaya hidup orang Kristen. Lalu, dosen saya yang “Kristen” langsung mengatakan bahwa topik saya ini terlalu “menghakimi”, kemudian ia menjelaskan bahwa sebelum melakukan penelitian, tidak boleh langsung “menghakimi”. Setelah itu, ia juga berpendapat bahwa bisa saja melalui penelitian, pandangan kita berubah. Sesuatu yang berdosa tetapi kalau diteliti bisa menemukan hasil akhir yang tidak berdosa. Mungkinkah ini ? TIDAK ! Ini adalah relativisme yang menjurus ke arah dosa. Di sinilah, kerusakan fatal relativisme secara total. Mengapa rusak? Karena relativisme menolak dengan semangat “kemutlakan” bahwa tidak ada sesuatu yang mutlak. Bukankah ini suatu kontradiksi yang aneh ? Seorang relativis “sejati” seharusnya juga menerima semua orang tanpa kecuali bahkan yang memegang pendirian kemutlakan sekalipun, karena ajaran relativisme mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah relatif (alias sama benarnya). Tetapi kenyataannya tidak.

Selain relativisme, di abad postmodern, ide utamanya juga mendengungkan semangat humanisme yang diimpor dari zaman modernisme. Tidak heran, kalau Pdt. Dr. Stephen Tong menyebut abad 20 sebagai abad yang bodoh karena abad 20 mau saja mengimpor filsafat-filsafat bodoh di abad 19 yang terbukti tidak berhasil dan bahkan merusak manusia. Kalau di abad modern, humanisme yang ditegakkan adalah humanisme lama dan humanisme sekuler yang nantinya melahirkan ide studi psikologi, maka di zaman postmodern, humanisme tidak lagi berkiblat ke dunia Barat, tetapi ke dunia Timur (saya menyebutnya Oriental Humanism). Humanisme model baru inilah yang nantinya disebut Gerakan Zaman Baru (New Age Movement ; selanjutnya disingkat GZB). Di dalam ide GZB ini, manusia sedang diajarkan konsep kehebatan diri dengan mengajarkan bahwa man is god (manusia adalah “allah”). Artinya, di dalam diri manusia terkandung potensi ilahi yang jika dikembangkan nantinya manusia itu bisa menjadi “allah”. Ide ini dipengaruhi oleh Buddhisme, Hinduisme dan gerakan kebatinan dari Timur. Tidak heran, training-training motivasi saat ini adalah wujud nyata dari GZB ini yang mendengungkan ide overman di dalam diri manusia. Bukan hanya itu, seorang motivator, Andrie Wongso yang beragama Buddha (penganut GZB) dengan berani diundang di kampus “Kristen” di Surabaya untuk memberikan seminar. Kehebatan manusia terus-menerus sedang diajarkan baik di dalam bidang agama maupun pendidikan maupun bidang apa saja.

Di bidang agama, khususnya dalam bidang “theologia” Kristen, ada lawan dari theologia Reformed/Calvinisme yaitu Arminianisme yang ditegakkan oleh Jacobus Arminius dari Belanda yang mengajarkan bahwa di dalam keselamatan manusia ada joint venture, yaitu peran serta Allah yang memberikan anugerah dan manusia yang menerima anugerah itu melalui iman. Juga diajarkan di dalam pandangan “theologia” ini bahwa keselamatan yang diterima oleh anak-anak Tuhan di dalam Kristus dapat hilang, oleh karena itu harus dijaga. Arminianisme yang human-centered ini dipengaruhi sejak zaman bapa-bapa gereja, yaitu Pelagianisme dan Semi-Pelagianisme, lalu rupa-rupanya ajaran ini terus-menerus bertumbuh subur di dalam ke“Kristen”an abad postmodern ini, khususnya di dalam banyak golongan Injili (pietis) dan gerakan Karismatik/Pentakosta. Banyak “pendeta” Karismatik/Pentakosta (salah satu tokohnya, David Yonggi Cho) mengajarkan bahwa orang-orang “Kristen” adalah little gods (ilah-ilah kecil), maka mereka dituntut untuk berdoa kepada Tuhan dengan paradigma “Sebut dan Tuntutlah”. Artinya, mereka harus “mengimani” apa yang mereka doakan “pasti” telah mereka dapatkan, karena mereka adalah anak-anak “Raja”. Benarkah ajaran ini ? Kalau semua permintaan kita pasti dikabulkan oleh Tuhan, maka kita lah yang pertama kali tidak selamat, mengapa ? Karena Tuhan Yesus tidak jadi mati disalib demi menebus dosa manusia, karena ketika Kristus berdoa kepada Bapa agar cawan penderitaan-Nya boleh dilewati, maka “Bapa mengabulkan apa yang Kristus minta”. Tetapi Alkitab tidak mengajarkan demikian. Doa Kristus tersebut lalu disambung dengan pernyataan bahwa bukan kehendak-Ku (Kristus) yang terjadi, tetapi kehendak-Mu (Bapa) yang terjadi. Bukan hanya itu saja, di dalam ke“Kristen”an, banyak golongan Karismatik/Pentakosta sebenarnya mendapat pengaruh langsung dari “theologia” Neo-Orthodoks (G. I. Williamson menyebutnya sebagai : modernisme baru) dari Karl Barth dan Rudolf Bultmann yang mengajarkan bahwa Alkitab bukanlah Firman Allah, tetapi menjadi Firman Allah ketika Allah sendiri berbicara melalui ayat-ayat Alkitab yang kita baca. Dengan kata lain, ketika “Allah” tidak berbicara, maka Alkitab bukanlah Firman Allah, tetapi hanya tulisan manusia saja (mirip dengan ide modernisme lama/“theologia” liberal). Humanisme yang nampak di sini adalah manusia menuntut agar “Allah” berbicara sehingga manusia tersebut dapat mengerti, sebaliknya jika “Allah” tidak berbicara, maka manusia malas membaca dan mempelajari Alkitab. Ujung-ujungnya tetap manusia yang memegang kendali atas “Allah”. Sehingga tidak heran, ide ini dikembangkan oleh banyak kalangan Karismatik/Pentakosta dengan dua ide tentang firman dalam bahasa Yunani yaitu logos (yaitu firman yang berbentuk “hukum”, Alkitab) dan rhema (firman Allah yang langsung berbicara secara individual di dalam diri orang-orang “Kristen”). Pemisahan dua ide ini sebenarnya hendak meniadakan konsep finalitas Alkitab dan membuka celah bagi suara-suara yang tidak jelas lalu dianggap dari “Allah” agar manusia memperoleh kepuasan tersendiri.

Di dalam Buddhisme, kita melihat adanya ajaran bahwa di dalam diri manusia ada sifat Buddha (allah) yang dapat langsung menuju nirwana. Kalau benar, bukankah sifat Buddha tersebut akan menjadi berbeda satu sama lain, lalu adakah standar kebenaran di situ ? TIDAK ! Kalau semua menjadi Buddha, apakah itu berarti memiliki standar yang sama ? Tidak mungkin ! Karena yang harus dijadikan standar harus tunggal/satu dan tidak boleh banyak/jamak. Kalau jamak dijadikan standar, ya, lihatlah dunia yang kita hidupi sekarang, rusak tidak karuan. Di dalam Islam, manusia sedang dipacu untuk berlomba-lomba berbuat baik. Tujuannya ? Jelas, agar diterima di sisi “Allah”. Dari sini, kita memikirkan satu konsep penting, yaitu di titik awal, Islam dan tentunya agama-agama yang mengajarkan perbuatan baik sebagai syarat keselamatan tidak mengerti apa motivasi dan tujuan berbuat baik. Seorang filsuf atheis Yunani, Aristoteles mengikuti jejak gurunya, Plato, mengajarkan bahwa perbuatan baik itu dikerjakan hanya untuk motivasi kebaikan dan hasil akhirnya untuk kebaikan itu sendiri. Perkataan ini bagus, meskipun kelemahan dari ide ini adalah Aristoteles itu sendiri tidak mengetahui sumber kebaikan itu apa/siapa ? Di dalam agama Katolik, Paus yang dianggap penerus Petrus (meskipun tidak diajarkan Alkitab) adalah wakil Kristus di dunia yang tidak mungkin bersalah. Mungkin tidak separah dengan agama-agama lain, tetapi Katolik masih saja mengakui konsep overman di dalam diri seorang Paus. Sehingga ketika Paus mengajarkan “theologia” religionum, maka umat tidak berani membantah meskipun itu melawan Alkitab. Seperti yang telah terjadi pada abad XVI, ketika si Paus memerintahkan untuk menjual surat penghapusan dosa (indulgensia) untuk membangun gedung gereja Basilea St. Petrus, maka umat juga tidak berani membantah, karena apapun yang Paus lakukan dan katakan itu “benar” meskipun melawan Alkitab (dosa diselesaikan bukan dengan cara membeli surat penghapusan dosa, tetapi hanya melalui darah penebusan Kristus). Apakah pemimpin gereja mutlak sempurna ? Di dalam tradisi Reformasi, hanya Alkitab lah yang sempurna, karena Alkitab adalah Firman Allah. Sesuatu yang Allah katakan pasti tidak bisa salah, tetapi sesuatu yang manusia katakan pasti ada salahnya.

Selain di dalam bidang agama, humanisme juga meracuni bidang pendidikan. Saya pernah menjumpai seorang dosen “Kristen” yang humanis murni mengatakan bahwa dirinya bisa belajar sesuatu dari para mahasiswa yang diajarnya, tetapi benarkah demikian ? Ketika saya mengumpulkan makalah yang berbeda presuposisi dengan sang dosen ini, sang dosen ini lalu langsung memberikan nilai buruk (C) kepada saya karena saya menyatakan suatu presuposisi dasar di dalam judul makalah saya bahwa ibadah Karismatik/Pentakosta mempengaruhi gaya hidup Kristen yang negatif. Benarkah ia ingin belajar dari para mahasiswanya ? TIDAK. Sebenarnya, yang ingin dia katakan adalah dia ingin belajar dari para mahasiswanya kalau itu cocok dengan paradigma dirinya (bukan sesuai dengan ajaran Alkitab). Itulah jiwa humanis. Selain itu, jiwa humanis di dalam bidang pendidikan nampak dari pernyataan yang tidak bertanggungjawab dari dosen “Kristen” saya, “religion dan science tidak ada hubungannya”. Apakah dirinya masih layak disebut “Kristen” ? TIDAK ! Karena ia adalah seorang humanis tulen yang diselimuti oleh jubah agama “Kristen” ! Contoh terakhir, tentang dosen saya yang mengajar tentang bisnis. Dia mengatakan bahwa kita harus mendigest (mengerti secara mendalam) apa yang diterangkan olehnya. Saya memegang pernyataannya, tetapi tahukah Anda kasus yang terjadi di dalam perkuliahan ini ? Ketika di dalam acara diskusi dan berakhir dengan memperkenalkan teman/pasangan teman, saya menjelaskan tentang alasan teman saya memilih mata kuliah ini, yaitu, teman saya (misalnya, X) tidak senang memilih mata kuliah ini, tetapi karena mata kuliah bisnis khususnya membahas tentang presentasi produk itu diperlukan di tempat kerjanya, maka ia memilih mata kuliah ini. Nah, belum selesai saya mengucapkan kalimat terakhir, sang dosen sudah memutus perkataan saya lalu mengatakan bahwa kalau tidak senang, mengapa memilih mata kuliahnya ? Ketika mendengar apa yang dikatakannya, saya hampir tertawa, dia sendiri yang berkata harus mendigest setiap perkataan, dia sendiri yang melanggarnya. Itulah kesoktahuan manusia berdosa !

Bukan hanya pluralisme dan humanisme yang menghantam dunia postmodern, era kita juga diracuni oleh semangat pragmatisme sebagai implikasi dari humanisme. Apakah pragmatisme ? Pragmatisme adalah suatu ide yang menekankan pentingnya hal-hal praktis sebagai implementasi dari teori. Lebih jauh lagi, saya mendefinisikan Pragmatisme sebagai suatu life style (gaya hidup) yang masa bodoh alias cuek dengan teori (hal-hal esensial) dan terus memperhatikan hal-hal fenomenal. Tidak heran, kalau kita menemukan ada orang “Kristen” yang berani mengatakan, “Jangan hanya teori, yang penting prakteknya.” Sepintas apa yang dikatakan ini tidaklah salah, karena Alkitab sendiri mengingatkan bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati atau sia-sia (Yakobus 2:14-26). Tetapi yang menjadi permasalahannya adalah motivasi orang “Kristen” yang mengatakan hal itu. Benarkah perbuatan lebih penting daripada iman ? Atau benarkah perbuatan menjadi penentu benar tidaknya iman seseorang ? TIDAK ! Kalau perbuatan lebih penting daripada iman, bukankah berarti kita diselamatkan melalui perbuatan ? Padahal Alkitab jelas berulang kali mengajarkan bahwa kita diselamatkan melalui anugerah dan iman, bukan melalui jasa baik manusia (Efesus 2:8-9). Kalau kita kembali menguji ide dasar dari ucapan tadi, maka kita dapat mengkaji kelemahan-kelemahannya bahwa pertama, motivasi orang itu adalah agar orang lain menunjukkan praktek hidup yang baik yang dapat menguntungkannya sehingga orang yang mengatakan hal itu lalu memuji orang lain sebagai orang Kristen. Jika tidak, maka orang yang mengatakan hal itu tidak akan menyebut orang lain sebagai orang Kristen. Tidak heran, di dalam penginjilan, kita menjumpai orang-orang “Kristen” KTP merasa tersinggung ketika dirinya ditipu oleh sesama orang “Kristen” yang perbuatannya tidak beres. Saya akan memberikan contoh. Orangtua saya adalah pedagang sprei di Pasar Atum, Surabaya yang kulakan sprei dengan seorang “Kristen” (sang istri adalah orang Kristen, sedangkan suaminya belum Kristen). Lalu orang “Kristen” ini pada suatu saat tidak mau ke gereja lagi, karena dia melihat ada seorang majelis gereja di mana orang ini berbakti tidak segera melunasi hutang-hutangnya. Kemudian, si istri (bersama suaminya) berani mengatakan bahwa yang penting perbuatannya baik, percuma teori saja (karena merugikan dirinya). Benarkah apa yang diucapkan sang istri ini ? Di satu sisi memang benar, majelis gereja ini perlu dihukum karena telah berdosa, tetapi di sisi lain si istri ini tidak perlu ngambek lalu tidak ke gereja lagi karena melihat majelis gereja yang berhutang ini kemudian mengatakan bahwa yang penting perbuatannya (fenomena). Kira-kira di waktu berikutnya, ayah saya yang sedang kulakan di rumah orang “Kristen” ini tiba-tiba merasa sakit perut dan ingin buang air besar. Kemudian, ayah saya minta izin suami dari orang “Kristen” ini untuk ke kamar kecil. Tahukah Anda reaksi sang suami ini ? Si suami ini dengan kasar melarang ayah saya dengan alasan bahwa rumahnya dan rumah ayah saya dekat lalu menyuruh ayah saya pulang. Benarkah : “yang penting perbuatan” ? Kalau memang benar bahwa yang penting perbuatan, mengapa yang mengatakan ini dirinya sendiri tidak memperhatikan kelakuannya dan malahan kelakuannya lebih bejat dan tidak sopan daripada majelis gereja yang berhutang padanya ?! Inilah kontradiksi dan kelemahan filsafat Pragmatisme yang aneh ! Kedua, orang yang mengatakan bahwa yang penting perbuatannya, percuma saja teori, sebenarnya secara tidak sadar sedang mengatakan sebuah teori bahwa percuma saja teori. Ini namanya self-defeating contradiction (kontradiksi yang menyerang diri sendiri) dari filsafat manusia berdosa ! Ketiga, orang yang mengatakan bahwa yang penting perbuatannya sedang menjunjung tinggi harkat manusia sebagai overman (implikasi praktis dari humanisme). Baginya, yang penting manusia sudah berbuat baik, itu cukup. Kalau berbuat baik sudah cukup lalu menganggap diri “orang baik”, orang itu di titik pertama sudah tidak baik. Mengapa ? Orang baik tidak ada yang mengaku diri baik, karena orang baik selalu menganggap diri tidak baik (memang demikian kenyataannya) dan terus-menerus ingin diperbaharui supaya dirinya lebih baik dari sebelumnya. Itulah yang harus dilakukan oleh orang Kristen yang ingin bertumbuh secara rohani. Dan terakhir dan paling parah adalah orang yang mengatakan hal demikian sedang berusaha melarikan diri dari pentingnya belajar teori/ajaran. Yang paling parah dan kerap kali saya jumpai di kalangan orang-orang “Kristen” abad postmodern ini adalah poin terakhir/keempat ini. Mereka tidak segan-segan menyebut diri “Kristen” bahkan aktif “melayani ‘tuhan’”, tetapi kalau mereka diajak untuk mengikuti seminar theologia atau kuliah theologia untuk awam (seperti Sekolah Theologia Reformed Injili Surabaya—STRIS), ada saja alasan yang mereka buat, misalnya tidak ada kendaraan, tidak ada waktu, sibuk, dll, tetapi herannya jika ada acara konser musik yang tidak bertanggungjawab (seperti konser musik dari Franky Sihombing, dll), tidak usah diundang, mereka sendiri antri mendaftar bahkan rela ikut teman (bagi yang tidak berkendaraan) untuk hadir di dalam acara tersebut. Bagi mereka, yang penting pengalaman dengan “Tuhan”, doktrin itu membatasi “kuasa ‘roh kudus’” (alasan lain mengapa orang “Kristen” abad postmodern menolak dan bahkan antipati kalau disuruh belajar theologia atau hadir di dalam acara seminar theologia). Tidak heran, ibadah KKR Kesembuhan Ilahi dengan iming-iming, “Yang sakit disembuhkan, yang miskin menjadi kaya, dll” sangat laris di kalangan ke“Kristen”an. Kalau keKristenan seperti ini, bagaimana hari depan keKristenan dapat berperan untuk memperluas Kerajaan Allah ?!

Pragmatisme juga muncul melalui banyaknya orang yang mengatakan bahwa yang penting bagaimana kita dapat berdamai dengan semua orang tanpa memperhatikan perbedaan doktrinal, iman dan prinsip (Pdt. Sutjipto Subeno mengatakan, “Damai di ‘surga’, Damai di bumi”). Bagi mereka, yang penting bagaimana bisa berdamai tanpa memusingkan hal-hal yang rumit. Sebenarnya perkataan ini juga merupakan implikasi dari perkataan bahwa yang penting perbuatan, jangan hanya teori saja. Kalau benar yang penting berdamai, cobalah damaikan perang Israel dan Palestina, lalu damaikan pula perang di Poso, Ambon, dll. Kalau perdamaian dunia dicapai, benarkah motivasinya untuk kebaikan perdamaian itu ? TIDAK. Pdt. Dr. Stephen Tong mengatakan bahwa orang ingin menciptakan perdamaian sebenarnya agar memperoleh nobel perdamaian. Kalau ide “perdamaian” ini benar, maka free-sex, narkoba, perilaku banci/waria, homo, lesbian, dll tidak perlu dihentikan dengan alasan “damai”, maka perhatikanlah bagaimana dunia kita semakin lama semakin TIDAK menjadi damai, malahan tambah rusak. Kristus adalah Raja Damai tetapi ketika Ia menjumpai ketidakberesan dan kemunafikan orang-orang berdosa (terutama dari ahli Taurat), si Raja Damai tidak mendiamkannya, tetapi Dia menegur mereka dengan sangat keras (baca Matius 23). Apakah dengan mengkritik para ahli Taurat, Kristus tidak jadi disebut Raja Damai ?! TIDAK. Justru karena Kristus adalah Raja Damai, maka Ia berani mengkritik hal-hal yang tidak beres sehingga mengakibatkan yang tidak beres jika masih bisa dibenahi segera bertobat dan ini berdampak akhir pada makna perdamaian sejati di mana nama Tuhan dipermuliakan. Kristus Sang Raja Damai itu sendiri mendamaikan manusia yang berdosa dengan Allah yang Mahakudus BUKAN dengan memperbolehkan dosa manusia, tetapi Dia menanggungnya di atas kayu salib. Ada harga yang harus dibayar bagi perdamaian sejati yaitu KASIH yang harus disertai dengan KEADILAN dan KEBENARAN sejati, bukan seperti “kasih” palsu yang sedang didengungkan oleh dunia berdosa ini !

“Perdamaian” palsu akibat pragmatisme ini juga mengakibatkan orang dunia mengatakan bahwa kita tidak boleh menghakimi, karena kalau kita menghakimi, berarti kita tidak cinta kasih. Benarkah demikian ? Orang yang mengatakan hal demikian (bahkan banyak orang “Kristen” di dalamnya) di titik pertama sudah tidak menyadari bahwa orang itu pun sedang menghakimi orang lain untuk tidak boleh menghakimi orang yang lainnya lagi. Lagi-lagi, mereka terjebak di dalam self-defeating contradiction (kontradiksi yang menyerang dirinya sendiri). Benarkah tidak boleh menghakimi ? Ketika Kristus bersabda di dalam Matius 7:1-5 bahwa kita jangan menghakimi, itu bukan berarti kita tidak boleh menghakimi sama sekali. Maksud perkataan-Nya adalah di dalam menghakimi, standar penghakiman kita harus jelas (Matius 7:2), yaitu Kebenaran Allah dan dimotivasi oleh semangat cinta kasih dan keadilan (2 Timotius 4:2). Kalau benar menghakimi tanda kurang cinta kasih, mengapa Tuhan Yesus di dalam Matius 23 mengkritik keras para ahli Taurat yang bisa dikategorikan menghakimi para pemuka agama Yahudi pada waktu itu ?! Mengapa pula di dalam 1 Tesalonika 5:21, Rasul-Nya, Paulus mengajarkan kepada Timotius juga untuk menghakimi segala sesuatu dengan mengujinya dan memegang yang baik (ada unsur penghakiman) ? Mengapa pula di dalam Roma 12:2, ketika Paulus mengajarkan agar kita dapat membedakan manakah kehendak Allah, itu pun Paulus ingin mengajarkan tentang menghakimi dengan benar ? Di dalam Wahyu 3:19, Tuhan sendiri mengatakan bahwa barangsiapa yang Dia kasihi, ia Dia tegor dan Dia hajar. Ada penghakiman Tuhan bagi mereka yang hidup tidak tertib dan akhirnya penghakiman Tuhan terakhir yang membuktikan penghakiman tidak membuktikan tidak adanya cinta kasih, tetapi justru merupakan bukti cinta kasih sejati yang disertai kebenaran, keadilan dan kekudusan. Melepaskan cinta kasih dari kebenaran, keadilan dan kekudusan adalah suatu absurditas (ketidakmasukakalan) yang aneh dan konyol !

Selain itu, pragmatisme juga timbul dari gaya hidup anak-anak muda yang sok tahu lalu tidak mau diatur (anti-otoritas). Munculnya musik rock, rap, dan musik-musik aneh lainnya adalah pewujudnyataan semangat pragmatisme yang diimpor dari filsafat postmodern yang relativis dan anti-otoritas. Ketika anak-anak muda dunia menyukai musik-musik yang tidak bertanggungjawab itu, bagaimana dengan banyak anak muda Kristen ? Kenyataannya, hampir dipastikan bahwa banyak (mungkin mencapai 85%) muda-mudi Kristen tidak jauh berbeda dari anak-anak muda sekuler karena muda-mudi Kristen suka mengonsumsi musik-musik rock, rap, housemusic, dll ala rohani (contohnya, Christian Housemusic). Semua musik-musik tradisional dan lagu-lagu rohani himne sudah digudangkan (karena dianggap tidak ada/membatasi “roh kudus”) dan diganti dengan musik-musik “pinggiran” dan lagu-lagu murahan (pop culture) untuk dinyanyikan bagi/”memuji” “Tuhan”. Mengapa mereka senang menyanyikannya ? Karena bagi mereka, itulah yang cocok dengan zaman. “Ikut arus” begitulah yang hendak didengungkan oleh muda-mudi zaman postmodern ini, tidak sedikit termasuk muda-mudi “Kristen”. Yang paling saya kuatirkan adalah gara-gara “ikut arus”, muda-mudi “Kristen” juga akan terjebak dengan free-sex dan lagi narkoba lalu menggunakan ayat Alkitab secara tidak bertanggungjawab bahwa marilah kita dipenuhi dengan “roh kudus” (alias istilah fly sebagai tanda “dipenuhi roh kudus”). Semoga hal ini tidak terjadi. Tidak ada salahnya kita mengikut arus, tetapi di dalam mengikut arus, kita harus berani dan tegas membedakan manakah arus yang kita ikuti sesuai dengan Alkitab atau sesuai dengan filsafat manusia berdosa.

Kalau pragmatisme saya sebut sebagai life style, maka tidak heran pragmatisme juga merambah ke dalam dunia pendidikan akademis. Memang sungguh aneh jika pragmatisme bisa merambah ke dalam dunia pendidikan akademis yang cenderung rasional, tetapi begitulah kenyataannya. Apa wujud pragmatisme ini ? Pragmatisme di dalam dunia pendidikan akademis ini tampak di dalam cara sekolah-sekolah dan universitas-universitas memilih setiap pengajar dan pendidik (guru dan dosen). Yang diperhatikan oleh lembaga pendidikan tersebut dalam memilih pengajar dan pendidik adalah banyak gelar dan kepandaian yang dimiliki oleh si pengajar dan pendidik itu tanpa memperhatikan kelakuannya, relasi dengan masyarakat apalagi imannya. Tidak usah heran, saya sendiri menjumpai di kampus “Kristen” di tempat saya berkuliah di Surabaya ada seorang dosen saya yang bergelar Master of Arts mengajar di bidang sastra ternyata mempunyai kebiasaan merokok setelah perkuliahan dimulai. Memang dia merokok tidak selama jam perkuliahan, tetapi jika ada mahasiswa yang mengetahui si dosen ini merokok, bukankah mereka akan mencari “pembenaran” diri agar mereka juga diizinkan merokok (karena dosen mereka merokok) ?! Selain itu, rektor yang mengepalai sebuah universitas (“Kristen”) dipilih bukan berdasarkan iman atau relasinya dengan masyarakat atau hal-hal esensial yang lebih penting, tetapi dipilih karena bisa menjadikan kampus tersebut terkenal dan kaya (profit-oriented). Perlu diketahui seorang teman saya mengatakan bahwa rektor universitas “Kristen” ini adalah seorang penganut “theologia” liberal secara terselubung (di luar kelihatannya sangat Injili/Kristen/mempercayai Alkitab, tetapi di dalam sangat bobrok dan liberal/tidak mempercayai Alkitab) !

Bukan hanya itu saja, semangat pragmatisme juga muncul di dalam dunia pendidikan akademis melalui ditekankannya demokrasi dan hak asasi ketimbang tanggung jawab. Saya akan memberikan suatu contoh konkrit. Ketika saya selesai mempresentasikan sebuah mata kuliah yang berkaitan dengan bisnis (Business Speaking) yang membahas mengenai Toko Buku (Kristen) Momentum dengan mengkritik buku-buku sekuler, salah satunya The Da Vinci Code, dll, pada waktu sesi tanya jawab, seorang teman saya yang beragama Buddha menanyakan bahwa bukankah Dan Brown memiliki hak asasi ketika dia mau menuliskan bukunya ? Lalu, dia juga menuturkan bahwa ada seorang dosennya mengatakan bahwa setelah membaca buku The Da Vinci Code, dosennya itu baru mengenal Tuhan lebih dalam. Saya akan mencoba menganalisa pemikiran ini di dalam dua jawaban, yaitu, pertama, setiap manusia pasti memiliki hak asasi, tetapi yang menjadi permasalahannya hak asasi tersebut tidak boleh mengganggu hak asasi manusia lain dan hak asasi itu harus dipertanggungjawabkan kelak. Hanya iman Kristen yang berani mengajarkan adanya tanggung jawab karena Alkitab mengajarkannya (2 Korintus 5:10) ! Hak asasi tanpa tanggung jawab dapat kita saksikan dengan jelas di Indonesia. Semua buruh berunjuk rasa menuntut hak asasi mereka yaitu gaji mereka dinaikkan, tetapi di lain pihak, para bos yang menggaji mereka juga mengalami kerugian karena banyak pekerjanya tidak bekerja. Inikah hak asasi ? Lalu, saya juga menjumpai di kawasan Surabaya Barat (khususnya daerah Citra Land, Graha Famili, dll), banyak anak-anak muda bersepeda motor tanpa tujuan alias untuk bersenang-senang dengan pacar dan teman-temannya (trek-trekan), kemudian kalau harga bensin dinaikkan, mereka semua protes. Inilah Indonesia ! Hak asasi teruslah ditegakkan di Indonesia dan percayalah Indonesia dalam jangka 5 tahun kemudian akan menjadi negara terkorupsi dan termiskin paling tinggi di dunia. Kedua, mengetahui dan belajar sesuatu BUKAN dari yang salah, tetapi dari yang benar. Ambil contoh, dari manakah kita belajar bahwa 1 + 1 = 2 ? Apakah dari guru yang tidak pernah belajar atau guru yang asal-asalan mengajar waktu kita di SD bahwa 1 + 1 = 3 ?! Kalau benar, pertanyaan selanjutnya, dari mana kita yang dahulu murid SD dapat mengetahui bahwa jawaban guru tersebut (1 + 1 = 3) salah, sedangkan jawaban “2” lah yang benar sebagai hasil dari 1 + 1?! Otomatis kita harus mengetahui kebenaran asali dahulu baru kita dapat mengetahui yang tidak benar. Mengetahui dan mengenal sesuatu dari yang tidak benar adalah suatu absurditas yang konyol dan aneh.

Ketika dunia sedang mencoba mencari worldview yang beres, mereka sedang tidak sadar bahwa mereka membangun worldview tersebut di atas kehebatan manusia yang sesungguhnya sudah jatuh ke dalam dosa dan rusak total. Lalu, adakah jawaban dan solusi bagi worldview sekuler ini ? Tidak ada jalan lain, ketika manusia kembali kepada Allah di dalam Kristus, barulah manusia dapat memiliki worldview yang : integrated dan responsibility. Saya menyebutkan worldview Kristen itu integrated karena worldview Kristen dibangun di atas dasar Alkitab yang mengandung kebenaran yang menyeluruh dan tidak parsial/sebagian. Lalu, worldview Kristen juga disebut bertanggungjawab/responsibility karena worldview Kristen juga dibangun dari pengenalan akan Allah Trinitas yang konsepnya sangat jelas dan Firman-Nya, Alkitab yang tidak mungkin bersalah. Ketika manusia sekuler mencoba mendebat Alkitab, hasilnya adalah mereka pasti kalah dan atas anugerah-Nya mereka kembali bertobat dan percaya di dalam Kristus. Oleh karena itu, marilah kita menganalisa setiap dokrin Kristen khususnya yang dibangun di dalam theologia Reformed untuk dapat menjawab permasalahan dunia dan menantang dunia ini untuk kembali kepada Kristus dan Alkitab.

Worldview Kristen di dalam prinsip theologia Reformed dibangun di atas dasar kedaulatan Allah. (mengenai makna kedaulatan Allah, silahkan membaca artikel saya pada Mandat Budaya-14) Mengapa ? Karena Allah adalah Sumber segala sesuatu yang memerintah dunia beserta isinya lalu Dia juga adalah yang mampu melakukan segala sesuatu asalkan tidak melanggar natur-Nya sendiri (Mahakuasa). Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam khotbahnya di National Reformed Evangelical Convention (NREC) 2006 pernah mengajarkan bahwa percaya kepada Allah yang Mahakuasa berhubungan dengan percaya kepada Allah yang Berdaulat. Beliau memberikan contoh di dalam Alkitab, yaitu Sadrakh, Mesakh dan Abednego yang mempercayai keMahakuasaan Allah dalam melepaskan mereka dari dapur api yang menyala-nyala akibat tidak menyembah berhala, tetapi mereka juga tetap beriman di dalam Allah meskipun Allah tidak mau menolong mereka. Allah yang Berdaulat adalah Allah yang memerintah, mengatur, memimpin, menegur, mengajar dan menolong/menghibur kehidupan kita. Dengan kata lain, saya mendefinisikan Allah yang Berdaulat (di dalam hidup manusia) sebagai Allah yang bertindak sebagai Nabi (mengajarkan Firman Kebenaran), Imam (memelihara dan menyelamatkan manusia) dan Raja (memerintah di dalam kehidupan manusia), di mana ketiga peran ini dikerjakan oleh Pribadi Kedua Allah Trinitas, Tuhan Yesus yang telah menjadi Nabi atau Pemberita Kebenaran Allah, Juru Syafaat atau Pengantara antara Allah dan manusia (Imam), dan telah memerintah sebagai Raja yang menguasai dan mengatur alam semesta yang diciptakan-Nya juga.

Kedaulatan Allah ini menjawab tantangan dan bahkan menantang dunia khususnya dari para penganut evolusi (termasuk evolusi theistik), dualisme, deisme (mengajarkan bahwa setelah Allah mencipta dunia, Ia meninggalkannya dan menyerahkannya kepada hukum alam), dll, bahwa Allah itu Pribadi yang Tidak Terbatas yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya dan juga memelihara dunia ciptaan-Nya dengan teratur. Kalau deisme benar, mengapa dunia yang katanya diserahkan oleh Allah kepada hukum alam yang berjalan sendiri dapat tetap ada bahkan teratur sampai sekarang ? Mengutip pernyataan dari Pdt. Dr. Stephen Tong, mengapa jarak antara matahari dan bumi tidak terlalu dekat (yang dapat mengakibatkan makhluk bumi menjadi arang) dan juga tidak terlalu jauh (yang mengakibatkan makhluk bumi membeku menjadi es) ? Apakah itu semua akibat produk dari hukum alam yang mengatur dunia ini ? Tidak mungkin. Pasti ada Allah di balik semuanya.

Kedaulatan Allah ini juga menantang filsafat dualisme yang berusaha membedakan dunia rohani dan dunia sekuler. Jika dualisme yang dipengaruhi dari filsafat Plato ini benar, maka orang ini (meskipun mengaku diri “Kristen”) tidak mengakui ada Allah selain di gereja saja. Kemudian berarti orang ini (meskipun mengaku diri “Kristen”) mempercayai “Allah” yang terbatas. Kalau iman seperti ini dipegang jelas ini bukanlah iman Kristen, tetapi persis seperti yang filsuf Feuerbach katakan bahwa “Allah” diciptakan oleh manusia sesuai dengan gambar dan rupa manusia !

Kedaulatan Allah juga mengkritisi filsafat rasionalisme yang mengilahkan rasio sebagai sumber “kebenaran”, padahal rasio yang diilahkan belum juga dibuktikan kebenaran dan validitasnya (mengutip pernyataan dari Pdt. Dr. Stephen Tong).

Kedaulatan Allah juga menghakimi filsafat relativisme yang ingin “memutlakkan” segala sesuatu adalah relatif. Kalau ada orang yang mengatakan bahwa semua agama sama, tolong tanyakan kepada orang ini mengenai kriteria pasangan hidup. Kalau orang yang mengatakan hal ini adalah pria, tolong tanyakan kepadanya bahwa apakah semua wanita yang akan menjadi pasangan hidupnya juga sama cantik, lalu semua bisa dijadikan istri ? Pasti tidak, dan ini membuktikan relativisme gugur. Selain itu, kedaulatan Allah juga menantang superioritas manusia yang terbatas. Manusia ingin agar dirinya tambah lama tambah hebat, tetapi di mata Allah, mereka seperti debu tanah. Mau bukti ? Manusia yang mengilahkan rasio akhirnya rontok dengan meletuslah Perang Dunia 1 dan 2. Tidak juga jera, manusia mencari ilah lain di era postmodern yaitu meditasi Gerakan Zaman Baru, waitankung, tenaga dalam, dll dengan motivasi ingin menambah kekuatan. Tetapi yang tidak mereka sadari bahwa meskipun mereka memiliki tenaga dalam dan kekuatan supranatural, suatu saat mereka pasti : lapar, haus, kesepian, sakit dan akhirnya mati. Mengapa ? Karena mereka mencari pemuasan hawa nafsu mereka sendiri demi mengejar kemuliaan bagi diri sendiri.

Dan terakhir, kedaulatan Allah menantang filsafat pragmatisme yang anti-otoritas. Manusia berpikir bahwa otoritas membelenggu manusia, sehingga tidak adanya otoritas bagi mereka dapat menguntungkan. Benarkah demikian ? Bayangkan dan renungkan, jika Allah tidak mengatur alam, mau jadi apa alam kita ini ? Pasti kacau. Justru ketika ada otoritas Allah intervensi di dalam dunia yang kacau maka ada kehidupan. Tetapi iblis berusaha membalikkan posisi ini dengan mengatakan bahwa “Allah” mengganggu kehidupan manusia, jadi marilah berlaku seenaknya sendiri, karena dunia ini “menyenangkan”. Bagi para pengikut iblis, dunia ini “menyenangkan” sehingga tidak heran para muda-mudi terjerat di dalam narkoba, free-sex, dll, tetapi tidak mau menanggung resiko atau merintih kesakitan jika sudah ketagihan atau over dosis. Apakah ini “menyenangkan” ? Pikirkanlah. Suatu sukacita di dalam keKristenan bukanlah kesenangan dan hura-hura ala dunia, tetapi sukacita itu timbul dari dalam karena ada Roh Kudus yang mengontrol dan menguduskan hidup kita terus-menerus sehingga hidup dan kehendak kita sesuai dengan-Nya. Apakah hidup yang sesuai dengan kehendak-Nya adalah hidup yang tidak menyenangkan ? TIDAK. Justru, itulah kehidupan yang menyenangkan (sukacita) sejati, karena itu sifatnya kekal dan tidak dimakan oleh waktu. Ketika sukacita karena dosa kita telah ditebus dan kita menjadi anak-anak-Nya di dalam Kristus serta kita pasti akan bersama-sama dengan Kristus selama-lamanya, itulah sukacita yang terindah yang tidak bisa dibayar oleh waktu, uang, dan segala kesenangan dunia. Di sini, hedonisme yang menekankan pentingnya hidup bersenang-senang mengalami kegagalan, karena para hedonis membangun nilai hidup di atas kesementaraan.

Di dalam kedaulatan Allah, Allah memberikan anugerah-Nya dengan memilih beberapa manusia untuk diselamatkan oleh Kristus dan masuk Surga, selebihnya (secara otomatis) ditolak. Di dalam kasih-Nya, Ia mengutus Kristus Yesus Tuhan ke dalam dunia untuk menebus dosa dan menyelamatkan umat pilihan-Nya ini dengan mati di kayu salib. Kuasa-Nya juga dibuktikan dengan kebangkitan-Nya dari antara orang mati yang membuktikan bahwa Dia menang atas tiga kuasa yang membelenggu hidup manusia : dosa, iblis dan maut. Serta kenaikan-Nya ke Surga membuktikan bahwa pengharapan kita akan kedatangan-Nya yang kedua tidaklah sia-sia karena Kristus yang telah naik ke Surga menyediakan tempat bagi kita di Surga lalu Dia akan turun ke dalam dunia untuk kedua kalinya untuk menjemput umat pilihan dan menghakimi mereka yang tertolak. Di dalam keseluruhan berita Alkitab yang saya paparkan secara singkat ini jelas mengajarkan satu ajaran tunggal yaitu Theo-centered theology (Allah yang berdaulat memilih manusia, Ia juga yang berhak menggerakkan manusia untuk dilahirbarukan, bertobat dan percaya di dalam Kristus melalui Roh Kudus, Ia juga lah melalui Roh Kudus menguduskan umat pilihan-Nya dan memelihara keselamatan mereka sehingga mereka dapat berjumpa dengan Kristus muka dengan muka di Surga) yang berbeda dari ajaran-ajaran “theologia” Arminian yang meletakkan manusia sebagai penentu (menerima atau menolak) anugerah Allah. Ajaran ini juga melawan konsep agama-agama dunia yang terus mengejar “perbuatan baik” agar masuk Surga, karena prinsip Alkitab memberikan motivasi kita berbuat baik yaitu karena kita sudah ditebus (Efesus 2:8-10) bukan untuk memperoleh “surga”. Menyangkal doktrin kedaulatan Allah sebenarnya bukan hanya menyangkal inti theologia Reformed, tetapi juga menyangkal inti ajaran Alkitab dan yang paling berbahaya adalah menyangkal diri Allah sendiri lalu mengilahkan diri sendiri yang terbatas sebagai “allah” yang tidak terbatas. Silahkan pikirkan dan renungkan sendiri !

Hari ini, ketika Anda masih membangun worldview di atas dasar subyektivitas diri Anda yang berdosa, atau bahkan mengimpor dari filsafat-filsafat manusia yang juga berdosa, sadarlah bahwa itu semua pasti berkontradiksi dengan dirinya sendiri. Maukah hari ini Anda bertobat dan menyerahkan semua pemikiran, kehendak, emosi dan keinginan kita kepada Allah melalui Firman dan Roh-Nya yang Kudus ? Membangun paradigma Kristen yang beres di atas dasar Alkitab dengan perspektif theologia Reformed itulah yang layak disebut membangun worldview yang integrated dan responsibility ! Sola Scriptura. Soli Deo Gloria. Solus Christus.



Syalom,

DENNY TEGUH SUTANDIO
akoloutheo2003@yahoo.com
dennyteguh@gmail.com
www.friendster.com/imagodei

No comments: